Selalu Ada Untukmu

120 22 0
                                    

Semalaman Ryan tidak pulang. Ia hanya mengelilingi kota tidak jelas arah. Pikirannya sedang kalut, untungnya ia tidak pernah lupa meminum obat. Ia sempat berkunjung ke taman hingga senja. Menikmati semilir angin seorang diri. Kadang menatap ke samping seolah menghadirkan senyum milik Zeline.

Ryan berencana pulang begitu lelah dan siap untuk tidur. Ia tidak mau mendengar ceramah ibunya. Ia tidak mau mendengar perkataan buruk tentang dirinya. Ini bukan mau Ryan. Kalau saja ia bisa memilih hidup macam apa yang akan dilewati, maka mungkin ia akan memilih untuk tidak hidup sebagai anak ibunya, bahkan tidak hidup sama sekali.

Gelap mulai menyapa kota yang dipenuhi macam-macam lampu. Suara bising kendaraan bersahutan. Lampu-lampu di sepanjang jalan bersinar terang mengalahkan bintang yang tertutupi oleh polusi. Motor Ryan mulai berbelok menuju perumahan yang sudah ia tinggali selama dua puluh dua tahun hidupnya.

Ruang tamu tampak lengang. Suara obrolan dan denting alat makan yang saling bertemu mengudara. Ryan memutuskan untuk segera naik ke kamar, mengurung diri seperti biasa. Sepertinya, malam ini ia akan susah tidur, lantaran saat di taman ia sempat tertidur, berkat obatnya yang memang menyebabkan kantuk.

Ketukan sempat terdengar beberapa kali di pintu kamar Ryan disertai suara Bik Mina yang memanggil. Ryan tidak menjawab, agar dikira sudah tertidur.

Entah berapa lama Ryan berkutat dengan pikirannya, hingga ia mendapat telepon dari Zeline. Mereka berbincang cukup lama, dan akhirnya tertidur dengan panggilan yang masih terhubung.

*.*.*.

Rintik air menetes di kaca mobil. Suara jatuh air awan itu keras menerpa atap mobil hitam Zeline. Genangan air di mana-mana, membuat percikan ke kanan-kiri.

Pandangan Ryan tertuju pada jendela mobil, menatap pada pengendara motor di sampingnya. Kadang pula menuju jalanan di depan mobil, pada pantat mobil merah. Ia banyak diam hari ini, membuat Zeline ikut diam pula. Bukan hanya hari ini, sejak dua hari yang lalu Ryan irit bicara. Tepatnya, sejak mereka ke kampus diantar jemput oleh Pak Kus karena hujan. Zeline berpikir kediaman itu karena kehadiran Pak Kus.

"Zeline, ke bioskop, yuk!" ajak Ryan membuka percakapan pertama kali sejak mereka memasuki mobil.

Zeline mana mungkin menolak. Sejak pacaran, mereka belum pernah ke bioskop sama sekali. Jangankan ke bioskop, menginjak mall saja tidak pernah. Ia tersenyum, menyandarkan kepala di pundak Ryan.

Sementara, kedua sejoli itu berbahagia, Pak Kus merana dalam hati. Ia sudah berjanji pulang cepat pada putri kecilnya. Sepertinya, janji itu ingkar lagi.

***

Sebelum pergi ke bioskop di salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar. Ryan pulang ke rumah terlebih dahulu, ingin berganti pakaian karena sempat terkena hujan saat di kampus.

"Ikut naik!" tawar Ryan yang langsung ditolak. Gelak tawa lelaki itu terdengar kecil saat berlari setelah mencuri satu kecupan di pipi Zeline. Kecupan yang sebenarnya hanya untuk menghilangkan sesak di dadanya.

Zeline duduk menunggu di sofa sendiri. Ia bisa saja ikut ke kamar Ryan, tetapi hal itu terdengar tidak sopan. Matanya mengedar menatap ruang tamu itu. Pigura lebar mencuri tatapannya. Tampak gambar lima orang di dalam bingkai perak itu sedang tersenyum. Ia terpukau menatap senyum kekasihnya dalam pigura. Terlihat lebih bebas. Berbeda dengan senyumnya kini. Entah seberat apa kehidupan yang Ryan rasakan, hingga bisa berubah dan menderita gangguan kejiwaan.

"Ngapain kamu di sini!"

Zeline mendongak, menatap Raya yang bersedekap masih mengenakan seragam putih abu-abu. Sorotan mata tajam adik Ryan itu hanya ditanggapi senyum oleh Zeline. Ia tidak mau memperpanjang masalah dengan remaja yang akan menjadi adik iparnya.

When I See You AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang