Anita berpegang pada besi tangga erat untuk membantunya menopang bobot dirinya karena betisnya yang kehilangan kekuatan setelah mendengar ucapan Ryan. Ia tidak tahu kalau Ryan terus saja menaruh pikiran buruk seperti itu tentang dirinya.
"Aku capek dengar Mama mengomel. Mama cuma jadiin aku pelampiasan kekesalan. Kalau Mama mau marah, kenapa harus aku yang jadi sasaran?" lanjut Ryan.
"Kamu bicara apa, sih? Mama bilang ini karena peduli sama kamu. Kondisi kamu nggak sebaik orang-orang. Mama izinin kamu kembali kuliah supaya kamu mulai bergaul dan kamu cepat pulih. Tapi, kalau begini, kamu makin tidak terkontrol," balas Anita.
"Tidak terkontrol? Maksud Mama apa? Karena aku lebih suka tinggal di luar daripada di rumah?" tanya Ryan, lantas melanjutkan, "masalahnya aku lebih bahagia daripada tinggal di sini."
Meskipun betisnya seolah mati rasa, Anita tetap melangkah untuk menyamai posis dengan Ryan. Ia tidak tahu apa yang ada di kepala anaknya itu. Ia tidak tahu bahwa anaknya itu sangat menderita selama ini. Itu salahnya karena kurang memberikan perhatian kepada Ryan. Namun, ia memiliki alasannya tersendiri, meskipun alasan itu akan tidak masuk akal bagi siapa pun. Hanya saja ia bis menjelaskannya keoada Ryan kalau Ryan memintanya.
Ryan mundur saat Anita mendekat ke arahnya. "Jangan ke sini! Aku nggak mau Mama ada di dekatku!"
Anggota keluarga mereka yang lain yang sudah ada di kamar, keluar, setelah mendengar suara Anita dan Ryan. Bahkan asisten rumah tangga mereka yang kamarnya berada di belakang juga ikut keluar ke dapur untuk menyimak pertikaian majikan mereka itu.
"Dengarin Mama dulu, Ryan," pinta Anita.
Ryan menutup kedua telinganya dengan tangan dan menggeleng-geleng. "Nggak! Aku nggak mau dengar! Pergi! Pergi!"
Melihat tingkah Ryan yang tidak biasa, Rey segera menghampiri adiknya itu. Ia memegang kedua bahu Ryan dan menepuk-nepuknya pelan.
"Udah, ayo ke kamar. Kamu pasti capek dan mau istirahat, kan?" ucap Rey kepada Ryan.
Rey menatap Anita dan mengedip-kedipkan matanya kepada Anita itu sebagai permintaan agar ibunya itu mengerti dan membiarkan Ryan pergi.
"Ayo," ajak Rey, mencoba menarik Ryan dengan lembut.
Seringai tajam muncul di wajah Ryan karena perbuatan Rey. "Nggak udah sok peduli seperti ini. Kamu cuma buat aku makin nggak suka sama kamu," desisnya.
Rey mengangguk-angguk, tidak begitu menanggapinya karena menganggap sakit adiknya itu kambuh.
"Sudah, istirahat aja dulu," pinta Rey, tidak mau menyerah.
Ryan meronta dan melepaskan diri dari pegangan Rey. Ia mendorong kakakny itu menjauh.
"Pergi!" teriak Ryan.
Narendra yang tadi hanya menatap dari bawah tangga segera menyusul Anita. Ia tidak tahu apa lagi yang dipermasalahkan oleh Anita sekarang. Harusnya istrinya itu tahu bahwa dengan kondisinya yang kadang Tidak stabil, Ryan tidak bia didesak.
"Ma, udah, ayo turun," ajak Nerendra.
Anita menolak. "Mama cuma mau bicara sama Ryan. Mama mau tahu sebenarnya apa masalahnya? Kalau dia kayak gini terus, bisa-bisa da kumat lagi dan masuk rumah sakit jiwa."
"Mama mau aku ke ruamh sakit jiwa lagi? Masukin aja, Ma. Aku tahu Mama kebuh senang kalau aku nggak ada di rumah ini. Aku orang luar bagi kalian semua," tutur Ryan, lantas suaranya mengeras saat mengatakan, "Aku nggak punya tempat di rumah ini!"
Melihat Ryan yang mulai hilang kendali, Reya memegangnya lagi. "Ayo, Ryan, ke kamar aja."
"Rey, bawa dia masuk sekarang. Paksa aja," suruh Narendra. Ia beralih pada Anita. "Udah, kamu cuma memperburuk keada Ryan."
Anita menatap Narendra, lalu memejamkan mata sebentar. Ia menghela napas panjang sebelum menghembuskannya pelan. Ia mengangguk dan menurut saat suaminya itu membantunya untuk menuruni tangga.
Berbeda dengan Anita yang sudah menjauh, Ryan bergeming di tempatnya. Tidak peduli dengan Rey yang terus membujuknya. Sementara Raya yang mengintip di balik pintunya yang terbuka sedikit mulai menangis. Ia merindukan keluarganya yang dulu. Namun, sejak Ryan di rawat di rumah sakit jiwa dulu, banyak yang berubah.
"Ryan, kamu mau terus di sini?" tahu Rey.
Ryan melirik Rey dengan tajam. "Lepas!" suruhnya sambil mendorong Rey.
Ryan melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya. Begitu ia masuk, ia membanting pintu kamarnya dengan keras sehingga membuat Raya dan Rey tersentak kaget.
Lelaki itu melempar ranselnya asal ke lantai. Ia bersandar di pintu dengan dada yang naik turun dengan jelas. Ia lelah dan ingin menyerah, tapi ia tahu bahwa hal itu bukanlah solusi.
Ryan meraih hapenya yang ada di saku celananya. Langkahnya pelan dan tidak stabil saat ia menuju ke ranjangnya. Tubuhnya dijatuhkan begitu saja olehnya saat ia telah di pinggir ranjangnya tersebut.
Dengan posisi tengkurap, Ryan mengecek aplikasi perpesanan di ponselnya. Ia melihat lima pesan dari Zeline. Dan ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari pacarnya itu.
Air mata Ryan pun menetes saat ia menghubuni Zeline. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mendengar suara perempuan itu.
"Iyan, kamu udah sampai? Kenapa lama banget?" tanya Zeline dengan nada khawatir.
"Aku capek. Aku capek banget," keluh Ryan disertai tangisan.
"Kamu kenapa?" tanya Zeline mulai panik.
"Aku mau pergi, Zel. Aku mau pergi yang jauh," ungkap Ryan.
"Kami boleh pergi, Iyan, ke mana aja yang kamu mau. Tapi kalau kamu pergi, kamu harus bawa aku juga. Jangan pergi nggak bilang-bilang," sebut Zeline. "Kamu tahu, kan, kalau apa pun yang terjadi, aku pasti selalu ada di sisi kamu"
Ryan makin terisak-isak. Ia dulu selalu yakin bahwa Zeline memang tidak akan meninggalkannya. Namun, jika Zeline tahu bahwa kematian Zayn disebabkan oleh dirinya, maka Zeline pun pasti akan pergi. Dan kakau Zeline pergi, ia tidak memiliki alasan lagi untuk tetap hidup.
"Kamu itu sangat berarti buat aku, Sayang. Kalau kamu merasa lelah, istirahat, tapi jangan menyerah," tutur Zeline.
"Kamu benar-benar nggak akan pergi?" tanya Ryan.
"Iya, aku akan selalu bersama kamu," jawab Zeline.
"Bahkan kalau kamu tahu siapa aku sebenarnya?" tanya Ryan.
"Iya, aku nggak peduli kamu apa dan siapa. Bahkan kalau ternyata kamu itu zombie sekalipun, aku nggak akan ninggalin kamu," ungkap Zeline.
Ryan memejamkan matanya. "Kalau lebih buruk dari zombie. Kalau ternyata aku makhluk yang ingin sekali kamu hindari?"
"Aku nggak peduli, Iyan. Kamu adalah orang yang nggak akan pernah aku hindari dengan alasan apa pun," ucap Zeline. "Dengar, Ayang Iyan, aku berjanji akan selalu menemani kamu apa pun yang terjadi. Jadi jangan pernah berpikir untuk pergi dari sisiku, aku punya radar yang bisa menemukan kamu sejauh apa pun kamu sembunyi."
"Aku cinta sama kamu," ungkap Ryan tiba-tiba.
Suara cekikikan khas Zeline terdengar. "Ihh, Ayang, aku juga cinta banget sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Teen FictionRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...