Pagi sekali, Ryan sudah berangkat menuju kampus. Untuk sarapan, ia membeli roti di minimarket yang ada di dekat kampus. Ada beberapa mata kuliah yang harus ia ikuti. Untungnya, beberapa kelas tidak perlu ia hadiri bersama dengan teman sekelasnya, yang berarti bisa terbebas dari gadis aneh yang terus mengejarnya.
Dua mata kuliah sudah ia ikuti. Dan harus kembali ke kelas untuk mengikuti kelas lain. Suasana di kelas itu masih seperti biasa, ramai. Meski masing-masing penghuni memegang telepon pintar, mereka masih berkumpul membentuk beberapa kelompok. Bercerita tentang kegemaran lain.
Ryan tidak begitu peduli pada pembahasan mereka. Ia hanya berdiam diri di bangkunya. Kadang menjawab seadanya pada teman lelaki yang kadang mengajak ikut bermain game online atau bermain salah satu cabang olahraga.
Sudah lama Ryan tidak memiliki kegiatan, selain mengurung diri di kamar. Ia sudah lupa bagaimana berbincang dengan orang lain, bahkan terkesan takut pada orang lain.
"Si Zeline sepertinya memang sudah gila!" Hal itu yang ditangkap oleh Ryan dari perbincangan tiga lelaki yang ada di depan mejanya. Meski, headphone terpasang di telinga Ryan, ia masih bisa mendengar perbincangan itu.
"Ah, padahal dia itu cantik," ucap lelaki yang duduk di meja.
"Dia mungkin harus dibawa ke rumah sakit jiwa." Yang lain menimpali.
Tangan Ryan yang berada di atas paha mengepal erat. Rahangnya pun mengeras, hingga gigi-giginya gelemetuk.
"Eh, Bro!" Suara itu tertuju pada Ryan, tetapi tidak ditanggapi. Ia justru bangkit dan meraih tasnya untuk keluar dari kelas itu.
Ryan tidak tahu kenapa banyak orang yang begitu mudah menyebut orang lain gila. Sementara, mereka tidak tahu bagaimana itu gila.
Belum sempat keluar, langkah Ryan tertahan. Suara lembut menyapanya. Ia tahu pemilik suara itu, tetapi suaranya sedikit berbeda kali ini. Gadis itu berdiri di depannya dengan senyum. Ia menatap dari bawah ke atas. Entah gadis itu masih sama dengan gadis yang kemarin ia temui. Bibirnya mengatup keras hingga hidung lelaki itu mengembang, menahan senyum yang mungkin akan ikut mengembang.
Mungkin, ini maksud tiga lelaki tadi.
***
Zeline telah menyiapkan semuanya. Kali ini ia yakin akan bisa memenangkan hati Ryan. Ia sudah berlatih semalaman untuk hari ini. Mata-mata yang ia lewati membesar memandangnya. Ia berusaha sesantai mungkin, menghapus rasa bangganya karena terlahir sebagai makhluk Tuhan yang paling cantik.
Ryan menyukai gadis sederhana, dan itulah yang ia lakukan. Rambut ikalnya telah diluruskan. Dikepang agar mirip gadis polos seperti di sinetron-sinetron masa kecilnya. Rok panjang dan kaos lengan panjang menutupi dirinya. Tidak lupa pula kacamata yang bertengger di hidung. Kurang sederhana apa lagi? Ia bahkan tak mengenakan riasan sedikit pun, kecuali pelembab bibir yang tak boleh tertinggal.
"Astaga, Zel! Kamu salah makan apa?" Tika menatap Zeline dari atas ke bawah berkali-kali.
"Sumpah, kamu udik banget!" tambah Karina.
Zeline tak peduli. Ia tersenyum dan memperbaiki letak kacamatanya. Menurutnya, wajah cantiknya akan tegap bersinar tidak peduli apa pun yang ia kenakan.
"My Prince di mana, ya?" Zeline menatap ke sekeliling kelas. Sengaja datang cepat, hanya untuk menatap lelaki pujaannya, tetapi batang hidung lelaki itu belum tampak.
Sesekali Zeline menatap ke arah sekelasnya yang tampak berbisik-bisik. Ia bahkan mendapati beberapa dari mereka menatapnya dengan tawa mengejek. Apa pedulinya, ia memang sudah cantik dari lahir. Menghapus iri di hati orang itu sangat susah.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Teen FictionRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...