[02] Pulau Timor

118K 9.5K 305
                                    

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif. Jika terjadi kesamaan itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan."

© Story of "Wahai Azarine" by @NailaAfra
.
.
.
.
.

"Dari bawah langit bumi Loro'sae kusampaikan salam"

•••

Anita Cendana terdampar di daerah terpencil di Nusa Tenggara Timur. Sejauh mata memandang dia hanya melihat tandus, gersang sedangkan matahari bersinar terik, membuat ubun-ubun kepalanya berdenyut sakit. Panas langit dari bumi Loro'sae di musim kemarau, membuat Anita terus mengipasi wajahnya dengan peta Atambua yang tak sudah terbentuk lagi karena dijadikan kipas dadakan.

Sesekali Anita menengadahkan wajah sedangkan telapak tangan di atas pelipis, namun dia turunkan pandangan dengan cepat karena sinar matahari menyilaukan mata.

"Panas sekali," keluh Anita, seraya menyeka keringat yang menetes melalui dagu dengan punggung tangan. "Lama-kelamaan gue bisa kena heat-stroke."

Anita tidak tahu dia akan senekad ini. Dia menjauh dari modernisasi perkotaan, mengucilkan diri ke sebuah desa terpencil di Nusa Tenggara Timur, mengabdi sebagai dokter relawan di daerah perbatasan antara dua negara yaitu Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste.

"Bosan!" serunya kemudian.

Menunggu lama di depan gubuk tua, di mana dia baru saja dihantar oleh truk pengangkat barang, dia mengeluarkan ponsel dari saku jas putih kebanggaan. Berniat mengusir suntuk dengan bermain game online.

Namun.

"Nggak ada sinyal."

Anita menghela napas berat. Dia berdiri dan mengangkat tinggi ponsel ke langit. Berharap menemukan jaringan—paling tidak menambah satu bar sinyal namun sia-sia, ponselnya tidak terkoneksi dengan internet.

Dia duduk kembali di atas koper hitam miliknya yang dijadikan tempat duduk dan memilih membuka pesan terakhir dari Halim Cendana. Pesan dari ayahnya yang berada jauh di ibu kota Jakarta.

"Kalau kamu nggak nyaman di sana. Beritahu Papa dan Papa langsung menjemput kamu."

Ayahnya masih berusaha membujuk Anita untuk kembali pulang ke Jakarta. Anita tidak lupa bagaimana reaksi Halim Cendana; ayahnya saat dia mengutarakan keinginannya menjadi dokter relawan.

"Apa? Kamu ingin menjadi dokter relawan di perbatasan? Jangan konyol Anita! Itu tempat terpencil," ucap Halim saat mendengar keinginan Anita melepas pekerjaannya di Jakarta dan memilih mengabdi sebagai dokter di perbatasan.

"Aku tetap pergi Pah, aku sudah mengurus semuanya. Aku sudah mendaftarkan diri di salah satu yayasan sosial. Aku nggak bisa mundur." Anita menjawab kala itu. Makan malam yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi dingin.

Wahai AzarineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang