[22] Langit Merah Berdarah

39K 5.2K 64
                                    

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif. Jika terjadi kesamaan itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan."

© Story of "Wahai Azarine" by @NailaAfra

***



"Assalamualaikum Azarine," ucap Anita mendekatkan alat perekam ke bibirnya, setelah itu dia menekan tombol 'play' untuk mendengar suaranya kembali.

"Assalamualaikum Azarine."

"MasyaAllah, suaranya ada..." seru Anita senang.

Bibirnya tidak bisa berhenti mengulas senyuman. Jujur, dia menyukai tape recorder pemberian Hamdi. Rekaman surah-surah pendek itu akan mempermudahnya dalam menghapal. Anita tidak bisa membayangkan semalaman Hamdi merekam suaranya sendiri untuk Anita.

"Kadang dia baik," gumam Anita, memuji Hamdi.

Dengan masih mengenakan kerudung merah—sehabis belajar mengaji seorang diri—dia berbaring terlentang di dipan kayu. Akhirnya dia bisa pulang ke rumah setelah insiden keracunan yang terjadi di Desa Baluka. Situasi mulai terkendali dan para warga yang sakit tidak perlu lagi dirawat di klinik, mereka telah dipulangkan ke rumah masing-masing.

Anita memutar ulang tape recorder.

Suara Hamdi saat membaca surah pendek memenuhi rumahnya yang sepi. Memantul dari satu dinding ke dinding lain. Anita pernah berpikir kalau Hamdi adalah lelaki dingin serta arogan. Berpikir kalau dia tidak mungkin bisa berteman baik dengan Hamdi. Namun pendapatnya itu terbantahkan. Hamdi adalah sosok lelaki yang hangat. Hanya sedikit kaku itu saja.

Begitu banyak momen yang sudah Anita lewati bersama Hamdi.

Saat Hamdi melompat ke danau Laran untuk menyusulnya. Saat Hamdi untuk pertama kalinya memanggil Anita dengan sebutan Azarine. Saat Anita menyadari bahwa imam dari salat jamaah yang selalu dia ikuti adalah Hamdi dan saat lelaki itu mengadzankan soleh bayi yang terlahir di bumi perbatasan.

"MasyaAllah, Letnan Hamdi," gumam Anita, tak bisa menghindari untuk menganggumi.

Namun satu detik kemudian, Anita menyadari yang dia ucapkan.

"Astagfirullah." Anita menyentuh dada dan merasakan jantungnya berdebar sangat cepat. "Kenapa daritadi aku terus memikirkan Letnan Hamdi?"

Anita mematikan alat perekam lalu menyimpannya ke saku jas putih yang masih dia kenakan. Keningnya mengerut dalam saat tangannya mengeluarkan sebilah pisau berukuran kecil yang terselip di saku, sebuah pisau bedah.

"Lihat ini! Apa yang kamu pikirkan Azarine? Sampai pisau bedah aja kamu bawa pulang segala," keluh Anita. "Aku butuh istirahat. Jangan khawatirkan Letnan Hamdi sebentar lagi dia juga kembali," ucapnya sembari menyampingkan tubuhnya.

Wahai AzarineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang