07 : Rumit

6K 357 3
                                    

Keinginan Lami tidaklah banyak. Ia hanya ingin hidup tenang. Tidak bahagia juga tidak apa-apa. Asalkan dirinya baik-baik saja.

Tapi ia sendiri tidak yakin setelah jiwanya pindah ke raga Sasta. Inang barunya ini ternyata mempunyai begitu banyak masalah. Mulai dari masalah keluarga, kerabat, dan cinta. Boro-boro hidup tenang. Yang ada Lami bisa mati beneran.

Haha. Ironis.

Hari ini, Sasta tidak ikut sarapan pagi. Ia memilih pergi sekolah dengan jalan kaki. Hitung-hitung olahraga sekaligus menyendiri.

Menyedihkan. Sudah cukup ia dulu dijadikan alat mencari kedudukan. Sekarang malah harus menghadapi masalah yang bahkan ia sendiri tidak tahu harus menyelesaikannya dengan cara bagaimana atau seperti apa.

Harga diri Sasta itu tinggi. Bahkan ketika jiwanya sudah pergi, ia tidak mau berbagi memorinya kepada Lami. Gadis iblis itu sungguh menyebalkan bahkan ketika ia sudah tiada.

"Sasta, kasih aku ingatan kamu, Bodoh! Aku capek harus mikirin sesuatu yang aku sendiri gak tau apa itu!" Untuk kesekian kali, ia merasa marah. Pada jiwa Sasta asli yang keberadaannya entah di mana. Kalian tahu, ini sungguh melelahkan. Mengharapkan sesuatu yang sebenarnya bisa saja angan. Sia-sia dan tidak ada harapan.

Ngomong-ngomong, kemarin alasan Sasta pulang telat karena ia sempat singgah di panti asuhan. Di sana ia menemui Aisyah yang sedang duduk dengan tatapan kosong sambil memeluk sebuah pigura.

Pigura dirinya. Lamira Anastasia.

Lalu sebagai Sasta, ia datang berkunjung dan mengaku sebagai teman dekat Lami. Haha. Ironis.

Beruntungnya, para rentenir itu masih belum bersikeras meminta pelunasan hutang. Mungkin uang yang sudah Lami bayar separuh dulu sepertinya mampu membuat mereka tenang untuk sementara waktu.

Brum brum!

Asyik-asyiknya melamun, Sasta dikagetkan dengan sebuah motor sport yang menepi tepat di sampingnya. Ketika si empu membuka kaca helm, Sasta mengerjap cepat. Mendapati Gerta yang sedang menatapnya dengan datar.

"Kakak," cicit Sasta.

Gerta menghela napas. "Kamu gak izin lagi."

"Maaf."

"Naik."

"Hah?" Kening Sasta berkerut dalam ketika Gerta kembali menutup kaca helm. "Aku boleh nebeng maksudnya?"

"Hm."

"Tapi aku gak bawa helm."

"Gak papa."

"Gimana kalau kita kena tilang?"

"Gak papa."

"Atau nanti orang-orang bakal curiga kalau aku bagian dari De Ragis. Papa bilang, aku gak boleh---"

"Sasta," sela Gerta dengan suara rendah. "Naik."

Sialan. Segala alibi yang Sasta kerahkan tidak berpengaruh untuk Gerta. Tidak tahu saja bahwa dirinya sedang menahan diri untuk tidak kabur karena masih merasa asing dengan sosok yang ia panggil Kakak ini.

"Kakak jangan ngebut, ya. Aku baru pertama kali dibonceng soalnya."

"Hm."

Sasta meraih kedua pundak lebar Gerta untuk berpegangan. Lalu ia pun naik dan duduk manis di jok belakang. "Kak, entar turunin aku lima puluh meter dari sekolah, ya. Selebihnya aku bisa jalan kaki."

Pemuda itu terdiam sebentar lalu mengangguk.

Di perjalanan, sepasang kembar ini hanya diam. Sasta meremas kuat ujung rok, menahan mati-matian untuk tidak melakukan aksi nekat. Seperti terjun bebas, misalnya. Sementara Gerta sendiri sedang fokus menyetir. Sesekali melirik kaca spion dan mendapati adiknya sedang menggerutu tanpa suara di belakang.

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang