11 : Permen Susu

5.6K 338 0
                                    

"Kamu gak papa jalan sendiri?"

"Kakak! Aku udah dengar itu sepuluh kali pagi ini!" Sasta mengangkat tangan. Imajinasi aktifnya membayangkan tangannya sekarang sedang memukul Gerta sampai puas. Sedang Gerta hanya mengernyit melihat Sasta yang menatapnya gemas dengan kedua tangan mengepal di udara.

"Kamu sakit?" tanya Gerta lembut. Sasta menurunkan tangannya lalu mendengkus kesal.

"Aku sehat. Gih, sana. Dari sini aku bisa jalan sendiri kok."

Gerta terdiam. Tak lama, pemuda itu menatap intens Sasta yang ikutan diam. "Kamu masih kepikiran sama ucapan Papa?"

Sasta tersenyum ringan. "Enggak, Kak. Aku gak ambil hati kok sama ucapan Papa. Santai aja."

Tak membalas, Gerta hanya menepuk-nepuk kepala Sasta dengan muka datarnya. "Hati-hati. Kakak tunggu kamu di kelas."

"Iyaaaa."

Gerta menatap Sasta sejenak kemudian melajukan motornya. Tepat setelah kepergian Gerta, senyum Sasta langsung hilang.

Bohong.

Sebenarnya, Sasta amat kepikiran. Coba bayangkan, dia habis bangun dari koma-terus kena amnesia-sama Cesar disuruh untuk tutup rapat identitasnya. Sasta agak kecewa karena tidak diakui namun tak bisa berbuat apa-apa. Bertanya pun mungkin tak ada gunanya. Toh, dia bukan Sasta.

Gadis itu mulai mengambil langkah sembari memindai sekeliling untuk mengusir jengah. Namun fokusnya tiba-tiba jatuh pada seekor kucing di tengah jalan. Lantas mengumpat ketika melihat sebuah motor melaju dengan kencang.

Tanpa pikir panjang, Sasta langsung berlari. Mengambil kucing itu dan berniat menepi. Namun entah kenapa, saraf otaknya seakan berhenti. Alih-alih berlari pergi, Sasta malah diam sambil merapatkan kelopak mata.

Ckitttt!

Napas lega Sasta hembuskan. Menyadari bahwa pengendara itu masih bisa mengendalikan motornya. Lantas ia membuka mata, dan malah menemukan Louis yang sedang membuka kaca helm dengan alis mengernyit.

"Jenis pengendara kayak kamu memang bikin resah para pejalan," ucap Sasta bermaksud menyindir.

"Mana yang lebih buat resah daripada pejalan gila yang tiba-tiba lari ke tengah jalan."

Sasta melongo mendengar pembalasan Louis. Ternyata lelaki cukup pandai bersilat lidah.

"Cuma pengendara gak waras yang tetap ngebut padahal jelas-jelas dia lihat kucing di tengah sana," balas Sasta tak mau kalah.

"Gue gak lagi memonopoli jalan." Tatapan Louis bergulir pada kucing yang sedang dipeluk Sasta. "Gue gak berniat ambil jalan tengah dan nabrak kucingnya. Gue gak sejahat itu."

Sasta tersenyum culas. "Yakin kamu? Gimana kalo tiba-tiba mata kamu kelilipan? Dan yang terjadi selanjutnya..." Gadis itu tidak melanjutkan kalimatnya, beralih menutup mulut dengan ekspresi pura-pura shock.

"Helm gue kacanya nutup kalau lo gak buta."

Sasta tak menghiraukan ucapan pedas Louis. Ia seolah tuli dan lanjut bicara. "Atau tiba-tiba, tangan kamu kesemutan terus pas mau ngerem---"

"Lo membicarakan sesuatu yang bahkan gak terjadi."

"Aku membicarakan peluang yang mungkin terjadi."

"Tapi itu gak terjadi sekarang."

"Itu bisa terjadi di masa depan."

Louis diam. Ia terlalu malas bicara. Mengetahui Louis tidak membalas lagi, Sasta terang-terangan memasang senyum kemenangan.

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang