32 : Aku-Kamu

3.1K 234 14
                                    

"Papa sama yang lain udah pergi, ya?" Senyum gadis itu tampak sangat kecut. Matanya melirik pada beberapa kursi kosong yang biasanya selalu terisi ketika makan malam.

Namun sekarang, Sasta sendiri. Sendiri di ruangan sebesar ini. Makan sendiri sembari ditemani sepi.

Sebenarnya apa yang Sasta harapkan? Toh, sejak awal pun, dia bukan bagian dari keluarga ini. Dia adalah jiwa asing yang bersemayam di tubuh Sasta. Tapi mengapa tetap saja terasa menyakitkan? Tidak bisa dipungkiri bahwa dia sudah terlanjur menyayangi mereka. Tapi kemudian realita datang tanpa diundang, merenggut kebahagiaannya.

Sudahlah. Sasta tidak bisa melakukan apa pun untuk sekarang. Lebih baik dia bekerja mengumpulkan uang dan pergi dari sini. Siapa pun tidak akan mau menampung orang asing yang bukanlah siapa-siapa. Alangkah baik bagi dirinya untuk tahu diri.

"Benar, Nona. Tuan Besar, kedua Tuan Muda, dan Nona Muda sudah berangkat sejak setengah jam yang lalu."

"Ah, ya."

Sasta tersenyum lesu. Nafsu makannya tiba-tiba hilang entah ke mana. Lalu gadis itu memilih beranjak dan kembali ke kamarnya. Begitu sampai di kamar, Sasta menarik napas dalam-dalam. Emosinya cukup terguncang sekarang. Maka untuk menenangkan diri, lebih baik Sasta mengambil shift malam ini.

Dia bergegas meraih jaket dan tas kecil. Langkah kakinya mulai mengayun keluar rumah. Ia berjalan melewati penjaga begitu saja dan menghentikan taksi.

"Ke Cafe Miracle A, ya, Pak."

"Baik, Dek."

Tepat setelah menutup pintu mobil, air mata Sasta tanpa bisa dicegah keluar begitu saja.

Sesungguhnya, kehadiran A sangat ia butuhkan saat ini.

****

"Dia adalah Melana Cava De Ragis, putri kandung saya."

Suara dingin yang mengudara itu membuat keadaan sesaat menjadi sepi senyap. Hingga beberapa saat kemudian, semua orang berbisik-bisik dan menyoroti seorang gadis bergaun putih mewah yang berdiri di sebelah Cesar.

"Tuan De Ragis mempunyai seorang putri?!"

"Sepertinya selama ini dia menyembunyikannya."

"Putrinya terlihat sangat rapuh."

"Itu anak dari wanita mana?"

Melihat suasana yang kurang kondusif, Cesar kembali berbicara. "Melan adalah anak saya bersama istri saya satu-satunya. Perlakukanlah dia dengan baik."

Itu bukanlah permintaan, melainkan sebuah perintah. Cesar memerintahkan semua orang untuk menghormati putrinya.

Sementara di sisi lain, seorang pemuda kini sedang menggenggam erat gelas minuman yang ada di tangannya. Rahangnya mengetat keras, menatap benci tokoh utama yang ada di atas sana.

Jadi ini yang membuat Sasta sedih dan murung sejak tadi.

Kemudian tanpa memedulikan kedua orang tuanya, pemuda itu segera menyingkir dari keramaian. Dia menghubungi seseorang yang sedari awal selalu memenuhi isi kepalanya.

"Arjen?"

Pemuda itu terdiam cukup lama saat suara di seberang menyapa gendang telinganya. Dari balkon ini, dia bisa menatap pemandangan indah kota yang sialannya terlihat sangat menyebalkan. Yang ingin matanya lihat saat ini hanyalah gadis itu. Tidak ada yang lain.

"Kok kamu gak bales? Mau aku ngambek?"

"Maaf." Arjen bisa membayangkan wajah kesal Sasta. Bagaimana gadis itu menatapnya dengan tatapan melotot membuat perasaannya jadi lebih baik.

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang