40 : Siapa Lami?

3K 189 15
                                    

Ketukan jari dalam tempo teratur mengisi keheningan di ruangan itu. Matanya yang segelap jelaga terhunus pada layar radiasi yang menampilkan rekaman CCTV pukul empat sore di Victoria.

Dia mengamati dengan jeli. Mengernyit dalam ketika tidak menemukan jawaban yang dia inginkan.

"Menurutmu, kenapa dia ada di sana?" tanyanya dengan suara tenang.

"Saya tidak tahu, Tuan. Tapi di sana, Nona Sasta terlihat sangat cemas," balas asistennya.

Pria itu mengistirahatkan sikunya di atas meja. Dia kembali memutar mundur video dan mengamati dengan lebih jeli.

Di sana, terlihat jelas sosok gadis muda sedang berusaha menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat bingung, ketakutan, dan cemas sekali. Cesar mendesis sinis karena otaknya bahkan tidak bisa membuat suatu hipotesa sederhana.

"Mungkin saja Nona Sasta sedang menunggu temannya, Tuan."

Cesar kembali mengernyit. "Dia punya teman?"

Aga tersenyum tipis. "Nona Selsia, Tuan. Oh, dan satu orang lagi. Dia laki-laki."

Alis Cesar menukik mendengarnya. "Laki-laki? Siapa?"

"Anak dari keluarga Yeremia."

"Yeremia? Cucu James Zevan?"

"Betul sekali."

Ekspresi wajah Cesar tidak terlihat baik. "Mengapa dia berteman dengan laki-laki itu?"

"Entahlah. Anda bisa menanyakan itu langsung pada Nona Sasta."

"Lupakan!" Cesar dengan kesal menutup laptop dan merebahkan punggungnya pada sandaran kursi. "Kira-kira siapa yang berani menyakiti Melan di tempat terbuka seperti ini?"

Aga dengan setia menjawab. "Tentu saja saingan Anda, Tuan. Barangkali dia menginginkan Anda hancur melalui putri yang paling Anda sayangi."

Cesar terdiam. Namun, dalam hati membenarkan.

"Tapi saya sejujurnya bertanya-tanya, Tuan. Mengapa Nona Melan bisa berada di lapangan saat seluruh siswa Victoria sedang mengadakan selebrasi di dalam gedung?"

Anggukan singkat dari Cesar menerbitkan senyum Aga. Kemudian Cesar mengalihkan pandangannya pada pemandangan di luar jendela yang sedang gerimis kecil. "Selidiki."

Aga mengangguk.

"Secepatnya, Tuan."

****

"Kamu menghindar."

Raut wajah Sasta tidak berubah banyak. Dia hanya tersenyum sedikit, mengalihkan perhatiannya pada anak-anak kelas lain yang sedang pelajaran olahraga.

"Enggak."

"Sasta."

"Apa?"

Arjen menghela napas. "Kalau aku ada salah, bilang."

"Kamu gak salah."

"Terus kenapa?" Bahu Arjen terkulai, redup dan sendu seolah ada hujan badai di kedua matanya. "Tiga hari setelah pertandingan, kamu terang-terangan menghindar. Aku samperin ke cafe, kamu juga pura-pura sibuk." Pemuda itu menatap Sasta dalam. "Aku ada salah, 'kan?"

"Enggak ada, Arjen." Sasta tersenyum tipis. "Aku cuma mau sendiri."

"Kamu selalu sama Selsia. Apanya yang sendiri?" Arjen menyugar rambutnya dengan frustasi. Sudah tiga hari ini ia tidak henti berefleksi, mencari-cari alasan mengapa Sasta sampai tidak mau bertemu dengannya. Awalnya ia masih bisa memaklumi, barangkali gadis itu memang sedang ingin sendiri. Akan tetapi, Sasta sesungguhnya baik-baik saja. Sasta hanya menghindari dirinya seorang dan tidak benar-benar ingin sendiri. Bahkan dia selalu bergabung pada obrolan anak kelas dan tertawa lepas.

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang