08 : Bencana

6.1K 338 2
                                    

Satu minggu telah berlalu. Tidak ada hal positif yang terjadi. Seperti biasa, semua berjalan tidak sesuai ekspektasi. Jangan mengeluh, karena hidup memang sebercanda itu.

Seperti halnya Sasta. Awalnya ia pikir, ia bisa sedikit bersantai. Ia pikir, kehidupan Sasta akan sedikit lebih menyenangkan karena pada dasarnya gadis itu tidak pernah dikekang. Tapi mengapa fakta di lapangan sangat berbeda dari angan-angan?

Pertama, Cesarno Carlo De Ragis ternyata tidak lebih dari sekadar ayah yang buruk-jahat-brengsek. Dia mengabaikan Sasta dalam satu minggu ini. Ia menganggap seolah dirinya tidak mempunyai seorang putri.

Kedua, Alkarsa Linter De Ragis ternyata memiliki ketimpangan seksual. Setiap pukul tiga pagi, Sasta terbangun dan selalu mendapati Linter yang sedang dipapah oleh seorang lelaki. Baik, itu masih normal. Tapi kemarin, ia melihat dengan mata kepala sendiri, Linter dan pria itu sedang dalam posisi mesra. Menjijikkan.

Ketiga, Algerta Cetta De Ragis adalah seorang mata-mata gila. Pemuda itu selalu tahu apa yang sedang ia lakukan. Contohnya kemarin, Gerta memergokinya sedang berjalan sendirian padahal jalan yang ia ambil adalah jalan sempit yang tidak banyak diketahui orang. Sialan! Sasta jadi rada parno.

Keempat, coba tebak. Selsia Rubyta Angkara---si kiblat fashion Victoria---beralih profesi menjadi tukang bully. Setiap ada kesempatan, ia selalu mengganggu Sasta dengan cara cantik. Tiga hari yang lalu, ia memasukkan serbuk cabe ke dalam jus stroberi Sasta. Dua hari yang lalu, ia membuang seragam olahraga Sasta ke closet. Kemarin, ia sengaja menjegal kaki Sasta hingga gadis itu terjatuh di kelas. Dasar biadab!

Dari empat poin itu, jelas tidak ada satu pun yang menguntungkan Sasta. Ia merasa menjadi pihak paling dirugikan di sini. Sudah nyasar di tubuh psikopat gila, ditambah punya keluarga yang juga gila! Kehidupan keduanya memang bencana!

"Kak Linter." Sasta tersenyum tipis ketika Linter menghentikan langkahnya. "Kakak malam ini lembur lagi?"

Linter tidak menjawab. Tatapan tajamnya menghunus tepat pada kening Sasta.

Sasta berdeham kikuk. "Ini." Tangannya menyodorkan sebuah paper bag berisi kotak makan. "Aku perhatiin Kakak udah jarang ikutan makan bareng aku, Kak Gerta, dan Papa. Jadi, aku siapin bekal aja buat Kakak, ya. Jangan lupa dimakan."

Awalnya Sasta kira Linter akan menolak, tapi di luar dugaan, pemuda itu ternyata menerimanya. Lantas Sasta mengulas senyum senang. Namun sedetik kemudian, ia teringat siapa yang berada di hadapannya sekarang. Linter---penerus De Ragis yang punya ketimpangan seksual. Mengingat itu, Sasta jadi agak ngeri.

"Sasta."

"Oh, Kak Gerta. Bentar." Sasta beralih pada Linter. "Kak Linter, aku sama Kak Gerta berangkat dulu, ya. Makanannya dihabisin."

Secepat kilat Sasta berlari ke arah Gerta. Ia tersenyum kaku kala Gerta menatapnya dan Linter penuh selidik.

"Jadi, kamu gak ikut sarapan cuma karena nyiapin bekal buat Kak Linter?" tanya Gerta datar.

"Iya. Aku lihat-lihat, Kak Linter gak pernah sarapan bareng kita lagi. Aku khawatir. Juga, aku mau berusaha dekat sama dia."

"Jangan berusaha terlalu keras," ucap Gerta, selanjutnya pemuda itu mengenakan helm pada kepala Sasta. "Kamu ngerti maksud Kakak 'kan?"

"Iya, Kak." Sasta mencoba tersenyum, tapi nyatanya ia merasa tidak nyaman. Bukan karena perkataan Gerta, melainkan karena perkataan orang itu.

"Rencana pertama, kamu harus dekat dengan Linter."

"Sasta. Ayo naik." Interupsi Gerta berhasil menyadarkan Sasta. Ia mengerjap, mengulas senyum kecil kemudian naik ke atas motor.

"Ayo, Kak. Kita berangkat."

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang