35 : Kambing Hitam

3.1K 175 3
                                    

Sejujurnya, kerap kali terpikirkan oleh Lamira Anastasia tentang apa motivasi Tuhan menempatkan jiwanya yang kumal pada raga Kalamsa Sasta yang seperti putri di negeri dongeng.

Yah, meski jiwa Kalamsa Sasta sendiri tidak lebih seperti boneka setan, tapi Lami tetap saja heran kenapa harus dia di antara milyaran orang di muka bumi ini.

Tidak mungkin hanya karena Sasta menganiayanya tepat sebelum meninggal, bukan?

Sungguh, sebenarnya ini sangat mengganjal. Di satu sisi, terkadang Lami merasa jiwanya dengan jiwa Sasta itu saling terhubung---walaupun Lami sebenarnya tidak sudi mengakui jiwa yang seperti iblis itu terhubung dengannya.

A pun sepertinya tahu sesuatu. Namun entah mengapa, dia enggan membuka mulut perihal satu itu. Mengenai bagaimana cara A langsung mengetahui bahwa dia bukanlah Sasta juga cukup mencurigakan. Maksud Lami, bagaimana bisa A mengetahui hal itu dalam sekali lihat? Aneh.

"Apa jangan-jangan aku itu beneran Sasta?" Lami atau sekarang Kalamsa Sasta itu mendadak terhenti di tangga paling atas. Dia berpikir keras mengenai korelasi antara dirinya dengan Sasta yang asli. Kepalanya kini membuat konspirasi tidak masuk akal akibat kurangnya kafein yang biasa ia tegak sebelum menjelang maraton baca komik. Sasta butuh kopi, ah, teh juga tidak masalah.

"Tapi, kan, gak mungkin, ya?" Ia menanyakan dalam hati. "Orang aku ingat jelas kehidupan aku sebagai Lami dari aku kecil sampai gede."

Beberapa saat kemudian, Sasta menggeleng-geleng. "Iya, mustahil. Tapi kalau beneran, wah plot twist banget."

"Hai."

Atensi Sasta sontak terpusat pada Melan yang berada di sisi lain anak tangga. Gadis itu sepertinya dari lantai bawah dan ingin kembali ke kamar.

"Hai," balas Sasta seraya tersenyum. "Tumben gak naik lift?" tanyanya sok akrab. Bodo amat, yang penting Sasta santai saja dulu.

"Mau sekalian olahraga," kata Melan seraya terkekeh. Sasta mengerjap cepat melihatnya.

Tumben????? Batin Sasta keheranan. Kemudian pandangan Sasta melebar, dia melirik sekitar dan menemukan beberapa pelayan yang sedang berlalu lalang. Seketika Sasta mengangguk paham.

"Kalau kamu?" tanya Melan balik.

"Oh, aku juga mau sekalian olahraga."

"Buat apa? Badan kamu, kan, udah bagus." Melan menatap tubuh semampai Sasta yang sempurna. Timbul sedikit riak aneh di kedua matanya.

"Biar sehat," ucap Sasta. Dia diam-diam mendelik dalam hati. Mengapa percakapan mereka kaku begini?

"Ohhh. Kalau gitu, aku duluan, ya, Sasta."

"Oh, iya. Silakan."

Melan meniti langkah dan tersenyum tipis saat hampir berpapasan dengan Sasta. Lalu secara tiba-tiba, gadis itu terjatuh hingga tubuhnya terguling sejauh lima anak tangga. Teriakan keras sarat kesakitan membuat Sasta membeku di tempat.

"Akhhh!"

"Astaga, Nona!"

Para pelayan yang melihat hal itu buru-buru menghampiri Melan.

"Nona, katakan bagian mana yang sakit?"

Melan meringis kecil. "K-kaki aku sakit..."

"Jangan khawatir, Nona. Saya akan panggilkan dokter sekarang."

Sasta terdiam lama karena tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa Melan terjatuh padahal dia tidak tersandung apa pun? Dan, mengapa dia harus terjatuh saat posisinya sedang berpapasan dengan dirinya? Sial!

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang