39 : Siapa Sebenarnya Dia?

3K 183 8
                                    

Raga Sasta memang di sini. Di tengah hiruk-pikuk euforia Victoria yang tak pernah padam. Tetapi sebenarnya, pikirannya sudah berpetualang terlalu jauh, menembus dimensi khayal pada kemungkinan-kemungkinan tidak masuk akal.

Arjen mengetahui segalanya? Bahwa di dalam raga ini terdapat jiwa asing yang tak bisa berpulang?

Jika benar, dari mana pemuda itu tahu?

Sejujurnya kuat sekali keinginan bagi Sasta untuk lekas hengkang dari sini sekarang juga. Ingin rasanya ia pergi menemui A dan menjelaskan situasi kurang ajar yang sedang terjadi. Akan tetapi, Sasta tidak bisa melakukan itu. Sebab di lapangan sekarang, Arjen menjadi target keroyokan tim lawan.

Sungguh. Benar-benar keroyokan. Bukan dalam makna ganda atau semacamnya. Arjen sungguh dibantai habis sampai beberapa kali terjatuh mengenaskan.

Anehnya, di situasi urgensi yang mengharuskan dia mencari A, Sasta justru bergeming di tempat karena merasa khawatir luar biasa.

Arjen tampak kesakitan. Semua orang pasti tahu bahwa tangan kanan pemuda itu sedang tidak baik-baik saja. Dan tentunya, pemain basket tanpa tangan sama saja dengan cacat. Sialannya, Arjen sedang berada pada posisi itu.

Kerap kali tim lawan---terutama pemuda dengan alis dicukur tipis itu---sengaja mendorong tubuhnya sendiri pada Arjen. Arjen digempur habis-habisan dari kiri-kanan-depan-belakang. Bahkan beberapa kali Arjen tersungkur jatuh mengenaskan lantaran tubuhnya tidak mampu menahan tabrakan dari seluruh mata angin.

"Arjen..." Sasta meremas tangannya yang berkeringat dingin. Jantungnya berdebar kencang tatkala wasit meniup peluit lalu tim medis berlarian dan berkumpul pada satu titik. Titik di mana Arjen terbaring lemas sembari memegang tangan kanannya yang merah.

Seolah bergerak sendiri, Sasta melangkahkan kakinya menuruni tribun dan berlari mengikuti ke mana Arjen dibawa pergi. Pemuda itu kini berbaring di sebuah bangsal dalam ruang perawatan seraya menutup wajah dengan lengan. Arjen tidak menangis, melainkan diam-diam menahan sakit di sekujur tubuhnya yang seperti habis dianiaya sekelompok manusia anarkis.

"Arjen." Sasta berseru pelan dengan pandangan nanar. Dia amat prihatin dengan kondisi Arjen yang tidak bisa dikatakan baik. Bahkan tangan kanannya agak bengkak dan merah sekali.

Arjen menarik lengannya dan menatap sosok gadis yang sedang menahan tangis di sebelahnya. Pemuda itu dengan segera bangkit dan tidak tahu harus berbuat apa ketika Sasta mulai tidak terkendali.

"Orang jahat!" maki Sasta sambil menangis. "Kamu sampai begini. Jahat!"

Jeda meliputi sepasang sejoli itu. Arjen mengamati dengan saksama sekaligus merasa terhibur mendengar cacian Sasta.

"Biar aku bales!" Manakala Sasta hendak pergi meninggalkan ruangan itu, tangan kiri Arjen dengan kilat menyambar Sasta dan menahan gadis itu untuk tetap tinggal.

"Aku baik-baik aja," balasnya singkat.

Alis Sasta menukik keki. "Kamu diem! Aku gak ngomong sama kamu!"

"Sasta, dengar. Lihat aku, aku baik-baik aja." Sasta berangsur tenang dan menatap sepenuhnya pada wajah Arjen. "Apa aku terlihat sekarat?"

Gadis itu menggeleng ragu. Kemudian meralatnya dengan anggukan cepat. "Kamu sekarat!"

Arjen terkekeh samar. "Aku baik-baik aja berkat kamu."

"Arjen, jangan bohong. Aku tahu kamu kesakitan."

"Awalnya iya. Tapi kamu di sini bikin aku jadi lebih baik."

"Bohong!"

"Aku bersumpah." Arjen dengan lembut menarik Sasta dan membawa gadis itu lebih dekat padanya. "Jangan nangis."

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang