34 : Mata-Mata

3.1K 211 9
                                    

"Aku masih gak percaya ini. Arjen, kamu berbakat!"

Mendapat pujian dari sang terkasih, Arjen tak kuasa menahan senyum. Bahkan semua orang yang berada di sekitar seketika melebarkan mata melihatnya.

Ke mana Arjen yang menyeramkan itu?!

"Aku senang kamu suka," ucap Arjen.

AKU????? KAMU??????

Bukan lagi melebarkan mata, orang-orang sampai menjatuhkan rahang saking tidak percaya. Demi Tuhan, mereka berani bertaruh bahwa dia bukanlah Arjen yang mereka kenal.

Karena siapa saja tahu, Arjen tidak akan mau repot-repot tersenyum dan melembutkan suaranya pada siapa pun. Namun, ini perdana bagi mereka. Apa lagi pemuda itu melimpahkan seluruh perhatiannya pada Sasta.

Arjen being bucin era!!!!!!!!

"Nanti boleh bagi resepnya? Aku mau coba bikin sendiri di rumah." Sasta menandas habis pasta ayam buatan Arjen. Kali ini dia sama sekali tidak berbohong. Meski terlihat sederhana, tapi makanan yang Arjen buat sangat enak.

"Gimana kalau aku ajarin langsung?"

Sasta terdiam sebentar untuk berpikir. "Hm, boleh deh. Nanti aku ke apart kamu, ya."

"Hmm." Arjen membuka tutup botol dan menyuruh gadis itu untuk minum. "Nanti aku ada latihan turnamen basket."

"Wow, di mana?"

"Di sini. Kamu gak keberatan nunggu sedikit lama kalau mau pulang?"

"Sama sekali enggak. Aku senang bisa nonton pacar aku main basket. Aku suka basket."

Arjen mengangguk singkat. "Aku tahu."

"Hmm. Aku dulu udah suka basket, ya?"

"Kamu adalah alasan aku main itu," balas Arjen sambil bertopang dagu. "Selain basket, kamu juga suka Pikachu, jepit rambut, dan suka duduk di bawah pohon."

Mulut Sasta terbuka kecil. Sosok Kalamsa Sasta sangat sesederhana itu rupanya.

"Kamu tahu banyak tentang aku, ya. Nikah aja kita," ajak Sasta blak-blakan. Seseorang yang duduk tidak jauh dari mereka sontak membelalakkan mata. Gerta dengan kebiasaannya yang memata-matai Sasta tentu tidak bisa mengontrol ekspresinya begitu mendengar adiknya berbicara seperti itu. Ini jika Linter tahu---ah, Gerta tidak mau membayangkan Kakak psikopatnya itu mengamuk dan mencelakai orang lain.

"Setuju." Arjen mengangguk tenang. Faktanya, dia tidak menganggap ucapan Sasta sebagai candaan. Arjen bersungguh-sungguh.

"Nanti kita harus punya kebun stroberi di belakang rumah, ya. Aku juga pengen pelihara kucing dan punya catroom sendiri." Sasta mulai menyerocos panjang lebar. "Gimana kalau kucingnya kita namain Rahma, Yanto, Hanum, sama Fatur?"

Arjen mengernyit tipis. Namun tidak urung, pemuda itu mengiyakan apa pun yang keluar dari mulut Sasta.

"Eh, itu Thalia sama anak baru, 'kan?"

"Dengar-dengar anak baru itu adeknya Gerta, ya?"

"Berarti dia De Ragis?"

"Iya. Dari kemarin heboh. Lo ke mana aja?"

Sasta berhenti mengoceh dan beralih menatap pada objek pembicaraan. Dia dapat melihat Thalia yang sedang mengobrol dan tertawa ceria bersama Melan. Sepertinya mereka sudah berteman dekat.

Jika dibandingkan dengan Sasta, sebenarnya hubungan Sasta dan Thalia tidak bisa dibilang seperti sahabat pada umumnya. Mereka tidak terlalu dekat seperti yang awalnya Sasta bayangkan. Bahkan Thalia tampak masih sedikit sungkan apabila berbicara dengannya. Mungkin apa yang dilakukan Sasta di masa lalu lumayan membuatnya takut dan trauma.

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang