28 : Disensor

4.8K 273 21
                                    

"Tidak, Tuan! Anda tidak boleh melakukan itu!"

Keringat sebesar biji jagung turun membasahi pelipis Aga. Pria itu meremas tangan, merasa ketar-ketir melihat Cesar yang bersiap membakar dasi miliknya menggunakan pemantik api.

"T-Tuan, Nona Sasta pasti akan kecewa melihat hal ini."

Sontak saja Cesar menjeda aksinya. Ia menatap Aga dengan sorot membunuh.

"Salah kamu. Mata saya sakit melihat kamu menggunakan dasi yang sama setiap hari."

Aga menangis dalam hati. Kalau iri bilang dong!

Ceklek.

"Selamat malam, Pap---EHH, KOK MAIN API?!"

Aga bersorak gembira dalam hati. Ia menatap sang Nona Muda memelas, meminta pertolongan.

"Ya ampun, Papa?" Sasta berlari kecil menghampiri Cesar lalu dengan lembut mengambil alih pemantik api itu. "Sasta cari Papa dari tadi, hehe. Ada yang mau Sasta kasih."

Raut wajah Cesar sedikit melunak. "Apa itu?"

Sasta menyengir lebar. "Aku malu kalau ngasihnya depan Om Aga. Gimana kalau dasinya balikin ke Om Aga dulu biar Om Aga bisa keluar."

Mata Cesar memicing tajam. Namun tak urung, ia menuruti Sasta. "Keluarlah."

"B-baik, Tuan Besar," ucap Aga kemudian mengambil dasinya secepat kilat.

Setelah Aga keluar dari ruang kerja Cesar, Sasta menggandeng lengan sang ayah dan menyuruhnya duduk di sofa panjang.

"Selamat ulang tahun, Papa." Sambil tersenyum, Sasta menyodorkan sebuah kotak kecil kepada Cesar.

"Papa sedang tidak ulang tahun," balas Cesar heran.

"Ya, gak papa. Ini aku, kan, mau ngerayain walaupun udah lewat." Tanpa memedulikan ekspresi aneh Cesar, Sasta langsung memberikan pelukan. "Selamat ulang tahun, Papa. Semoga Papa selalu sehat dan bahagia."

Cesar tertegun. Salah satu tangannya terangkat menyentuh bahu Sasta, membalas pelukan putrinya.

"Terima kasih."

Setelah beberapa saat, Sasta pun melepaskan pelukan mereka. "Maaf, ya, kalau hadiahnya enggak sesuai sama selera Papa. Tapi Papa harus tau, kalau aku milih hadiah ini dengan sepenuh hati aku, hehe. Aku sayang Papa."

Cesar langsung membuang muka.

"Ayo buka."

Sorot Sasta terlihat lebih cerah tatkala sang ayah menarik tali di atas kotak. Sementara Cesar, ia sempat terdiam begitu melihat apa yang ada di dalamnya.

"Aku dengar dari Om Aga kalau Papa suka biru," celetuk Sasta tiba-tiba. Cesar mengangkat kepala, menatap wajah sang putri. "Waktu pertama kali lihat ini, aku langsung ingat Papa."

Sasta mengerjap karena Cesar sama sekali tidak bersuara. Perlahan raut Sasta turun, alisnya bertaut khawatir.

"Papa gak suka, ya?"

Cesar menggeleng.

"Berarti Papa suka?"

Cesar mengangguk.

"Hehe. Syukurlah."

Lagi-lagi Cesar terdiam. Melihat senyum Sasta, ia merasa deja vu. Senyum Sasta mengingatkannya pada seseorang yang telah lama berpulang.

Mendapati keterdiaman Cesar membuat Sasta berdeham pelan. Ia tidak bisa menebak apa yang sedang ayahnya pikirkan. "Aku balik ke kamar dulu, ya. Papa jangan terlalu memaksakan diri. Kalau cape kerja, Papa harus berhenti."

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang