12 : Pembunuh

5.8K 352 7
                                    

"Kamu suka guru privatnya?"

"Suka kok, Pa. Pak Sam baik banget. Bikin Sasta betah belajar." Sasta tersenyum lebar kemudian menuangkan teh ke dalam sebuah cangkir. Sesekali ekor matanya melirik Cesar. Baju tipisnya yang menampilkan dada bidang membuat fokus Sasta terbelah. Jangan salah paham. Itu karena di kehidupan sebelumnya ia tidak pernah menyaksikan hal ini secara live. Bagi Lamira, pemandangan seperti ini masih sangat tabu untuknya.

"Minum dulu, Pa."

Cesar menerima teh buatan Sasta dan meminumnya dengan elegan. Ia beralih menatap kertas ulangan Sasta yang diberikan oleh Aga tadi. Entahlah, Sasta pun bingung. Saat masuk, tahu-tahu Cesar sedang menatap serius kertas ulangan hariannya.

Sasta mengulum senyum ketika mengintip dan mendapati nol besar di sana. Ia sudah menduganya, dan tentu saja agar Cesar tidak curiga dan mengira bahwa ia masih Sasta yang lama---Sasta yang punya kelemahan di bidang akademik. Yah, biar bagaimanapun, amnesia tidak bisa mengubah orang menjadi pintar secara instan, bukan?

Sedang Cesar mengernyit samar. Sudah hampir setengah jam ia menatap kertas ulangan Sasta sebab merasa ada hal yang aneh.

Jika jawaban yang benar adalah -25, maka jawaban Sasta adalah 25. Jika jawaban yang benar adalah sin 1+√3, maka jawaban Sasta adalah sin 1-√3.

Menyadari raut aneh sang ayah, Sasta membatin gugup. "Aku gak bakal ketahuan, 'kan? Sasta begonya kayak gini, iya, 'kan?"

"Sasta."

"I-iya, Pa?"

"Kenapa..."

Sasta menggaruk lengannya tak gatal. "Ahh, itu karena Sasta iseng nebak-nebak tapi tetap aja keliru."

"Tapi soalnya bukan pilihan ganda."

Jdar.

Sasta mengutuk dalam hati. Benar juga. Kenapa ia bisa sebodoh ini?!

Jika bentuk soalnya adalah pilihan ganda, bisa saja ia asal tembak. Tapi bentuk soalnya adalah essay. Yang mana, tidak bisa asal nebak-nebak modal kancing baju doang. Sialan! Lagian Sasta tidak menduga bahwa Aga akan mendapatkan kertas ulangannya dan menyerahkannya pada Cesar. Tahu begini---ah, sudahlah! Terlambat!

"Jangan terlalu berusaha."

Sontak Sasta terhenyak lalu menatap tak mengerti pada Cesar.

"Maksud Papa?"

Cesar meletakkan kertas itu ke atas meja lalu menegak teh buatan Sasta tadi sambil memejamkan mata. "Kamu gak perlu berusaha. Tidak ada yang menuntut kamu untuk menjadi pintar. Lakukan apa pun yang kamu mau." Cesar membuka mata dan menatap Sasta dengan sorot yang sedikit teduh. "Tidak akan ada yang marah kalau kamu enggak mau belajar. Jika belajar membuat kamu tertekan, kamu bisa berhenti."

Hati Sasta menghangat. Dulu saat menjadi Lami, ia tak begitu mengharapkan eksistensi sebuah keluarga. Ketika teman-temannya sudah diadopsi, Lami pun tidak berharap banyak. Tinggal bersama Aisyah sudah lebih dari cukup untuknya. Namun sekarang, ia adalah Sasta. Di kehidupan kali ini, ia diberi kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya mempunyai keluarga. Dan dirinya tidak pernah menyangka bahwa rasanya akan semenyenangkan ini.

Entah mengapa, Sasta merasa pandangannya mulai mengabur dan panas. Pundaknya bergetar lalu ia menurunkan pandangan ketika mendapati Cesar tampak tertegun.

"Kamu ... nangis?" tanya Cesar pelan. Sembari menunduk, Sasta menggeleng ribut.

"Enggak. Mata aku kelilipan," sanggahnya sambil mengusap kelopak mata, berusaha agar Cesar tidak bertanya banyak. "Papa, Sasta keluar dulu, ya."

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang