23 : Siuman

4.7K 275 34
                                    

Kelopak mata indah itu bergetar samar. Tak lama, kedua matanya terbuka sedikit, menyipit untuk menyesuaikan cahaya masuk menembus retina.

Gadis itu beralih memindai sekeliling. Menatap kosong ruangan serba putih dengan bau obat-obatan yang menyeruak.

Ha ha ha ha.

Ia kembali lagi.

"Saya tidak bisa memprediksi kapan Nona Sasta akan bangun dari komanya, mengingat ia sempat mengonsumsi makanan yang mengandung udang dalam jumlah yang cukup banyak."

"Dasar tidak becus!"

"Tuan Cesar, mohon tenang."

"Bangunkan putriku!"

"Maaf, Tuan Cesar. Itu bukan kuasa saya. Kita tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu keajaiban dari Tuhan."

"Ini sudah satu Minggu. Apa tidak ada harapan?"

"Maaf, Tuan Aga. Saya benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Terlebih denyut nadi Nona sempat tidak terdeteksi tadi."

"Jangan bicara sembarangan, sialan!"

Gadis itu mengernyit dalam mendengar suara yang bersiteru dari luar. Ia tak mengerti. Apakah dirinya koma? Satu minggu?

Tapi mengapa, mengapa ia merasa baik-baik saja? Tidak kesakitan sama sekali, bahkan ia merasa jauh lebih ringan dari biasanya.

Manakala ia hendak bangkit, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Lantas ia menunduk, menatap tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

"A-aku..." Pupil mata gadis itu bergetar hebat. "Aku transparan."

Kemudian ia berbalik lalu menatap rumit tubuh Sasta yang tampak sedang tidur dengan denyut jantung melemah. Secepat kilat ia bangkit dari brankar, merajut jarak dan memilih menatap raga itu dari jauh.

"AKU DI SINI, TERUS YANG DI SITU SIAPA?!" teriaknya shock. Sayang sekali, tidak ada satu pun orang yang bisa mendengarnya.

Mendengar teriakan ketakutan Lamira Anastasia.

****

"Dia masih belum sadar?"

Gerta menggeleng lemah, matanya menatap kosong segelas minuman keras yang masih tersisa setengah.

"Udah dua Minggu," ujarnya getir. "Ini salah gue. Seandainya waktu itu gue selalu perhatiin dia, ini gak bakal terjadi."

Pemuda bermanik kelabu di sebelah Gerta tak bereaksi banyak. Ia terlihat tenang seperti biasa. Namun penampilannya mengatakan hal sebaliknya. Sama seperti Gerta, di bawah matanya terdapat lingkar hitam yang tampak jelas meski di ruangan yang diselimuti cahaya remang-remang.

"Gue takut," lirih Gerta dengan kepala memberat. Ia termasuk orang yang memiliki toleransi alkohol yang tinggi. Bila ia sudah mabuk, artinya Gerta memang sudah banyak menegak minuman itu.

Arjen mengambil alih gelas dari tangan Gerta. Mencegah cowok itu ketika hendak meminumnya lagi.

"Lo mabuk, Gerta."

"Fuck!" umpat Gerta dengan mata memerah. Arjen menghela napas pelan. Sebenarnya ia tidak ada niatan ingin pergi ke club malam ini, tapi tiba-tiba saja ia mendapatkan telepon dari seorang bartender yang mengatakan bahwa Gerta dalam keadaan yang cukup mengkhawatirkan.

"Dia pasti kesakitan." Gerta menarik rambut dengan frustasi. "Gue harus apa?" tanyanya menoleh pada Arjen yang masih bergeming. "Lo lebih mengenal Sasta dibandingkan gue, Arjen. Gue harus apa supaya dia cepat bangun?"

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang