52 : Singkirkan Dia

968 94 11
                                    

Tangan kecil itu tampaknya tak mampu mengangkat barang sekecil apa pun. Sorot matanya yang kosong tiada henti memindai segala kekacauan yang terjadi.

Bangunan roboh.

Tangisan dimana-mana.

Teriakan pilu bersahut-sahutan.

Tak lupa suara tembakan turut serta mengiringi alunan kesedihan dan kehancuran itu.

Dia nelangsa. Lantas mencoba berpikir usaha apa lagi yang harus dia lakukan agar semuanya kembali semula. Namun, percuma saja. Buminya hampir musnah dan dia hanyalah seonggok kecil dari milyaran manusia yang tak bisa berbuat apa-apa.

Tapi tak masalah. Setidaknya dia masih berusaha. Lantas tangannya beralih mengusap penuh hati-hati darah yang merembes keluar dari kepala pria yang ada di pangkuannya.

Darah masih menjadi hal yang dia benci. Terlebih ketika dia mengingat betapa ironis ayahandanya berpulang dengan tubuh bermandikan darah.

Ah, sialan.

Di tengah nostalgia sakitnya, dia tertegun singkat ketika mata pria itu menyorot teduh pada miliknya. Di situasi yang tak tepat ini, pria itu justru tersenyum dan berusaha mencuri pandang pada dokter muda yang sedang merawat dirinya sekarang.

"Terima kasih telah merawatku."

Dokter itu berdeham kikuk dan berusaha menutup rasa aneh yang timbul begitu saja.

"Sudah tugasku, Tuan."

"Kamu sangat cantik..." Pria itu tersenyum tenang. "Setelah semua ini berakhir, sudikah Dokter memberikan aku izin untuk menemuimu lagi?"

Dokter itu terdiam sejemang. Lantas setelahnya, dia tersenyum sedih dan mengangguk cepat. "Maka, Tuan Tentara harus kembali dengan selamat."

Pria itu memberikan anggukan seraya tersenyum manis. "Itu pasti. Karena kini, Dokter menjadi alasanku untuk tetap hidup."

****

"Kamu demam tinggi..."

Mata gadis itu terlihat redup. Dia menatap sendu pada wajah wanita muda yang sedang duduk seraya meremas tangannya dengan gundah.

"Maaf. Aku pasti ngerepotin Miss."

"Enggak, Sayang. Sama sekali enggak." Wanita itu tersenyum lembut. Tangannya terangkat dan kembali mendarat pada kening gadis itu. Barangkali dia tak lelah memastikan apakah panas yang menggerogoti sejak lima hari lalu menurun juga. Tetapi faktanya, tidak dan belum.

Tidak untuk sekarang dan belum juga untuk sekarang.

"Miss enggak jadi pergi belanja?"

"Bagaimana mungkin Miss ninggalin kamu yang sama sekali belum membaik, Sasta?"

"Miss, aku baik-baik aja. Hanya... hanya cape sedikit."

Keluar helaan napas panjang dari sang wanita muda. "Setelah ini jangan coba-coba berangkat dari kasur dan membereskan rumah lagi. Atau Miss akan marah."

"Miss Saski serem kalau begitu." Gadis itu menanggapi dengan gurauan.

"Kalau enggak, kita ke rumah sakit sekarang."

Tawa gadis itu perlahan pudar. Di wajah pucatnya terukir ekspresi cemberut kesal main-main. "Nah, itu beneran serem."

"Menurutlah, Sayang." Saski memberikan penegasan. "Kamu harus istirahat yang banyak. Makanannya dihabisin. Terus, obatnya jangan dilepehin."

"Siapa yang ngelepehin?"

"Sasta, jangan pikir kalau Miss enggak tahu, ya."

"Iya, Miss. Maaf." Sasta mencuatkan bibir. Dia menunduk menatap jemarinya yang bertautan. Lantas dia menggeleng dengan rengekan manja. "Aku gak bisa minum obat besar-besar."

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang