46 : Dinner

2.2K 133 6
                                    

"Saya bukan putri Anda, 'kan?"

Suara lemah nan parau mendayu bagai ranting kering. Pelupuk matanya yang lesu menyimpan segudang ketakutan. Tangan kurusnya bergetar hebat di balik selimut, menyembunyikan rasa tidak menyenangkan yang melingkupi seluruh tubuhnya.

"Anda hanya memanfaatkan saya," lanjutnya gundah lara.

"Secara teknis, kamu yang memanfaatkan saya." Pria dengan setelan necis itu terlihat tidak tertarik. Arah matanya menyorot tidak bergairah pada gadis sepucat mayat itu. "Siapa yang datang lebih dulu dan meminta pertolongan? Apakah itu saya?"

Gadis itu membisu seribu kalbu. Ujung bulu matanya bergetar samar. Bersamaan dengan itu memutihlah buku-buku jarinya akibat terlampau geram.

"Saya akan menjamin keselamatan dan hidup kamu. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan selama kamu berada di bawah naungan saya."

"Saya tidak mau hidup seperti ini lagi. Saya ingin berhenti." Dia menunduk dalam dan mulai terisak. "Sebenarnya bukan hanya kecelakaan yang membuat saya seperti ini. Tetapi malam itu, saya didatangi oleh seseorang."

Lipatan kaki pria itu terbuka. Dia menegakkan punggung dan mendengar dengan siaga. "Siapa?"

"Saya tidak tahu." Tangisnya makin keras. "Dia bilang bahwa saya akan mati jika terus bertahan di keluarga ini."

"Sial..." Pria itu mengumpat lirih. Perasaannya kini telah campur aduk. "Saya akan menangani ini. Kamu akan pergi besok."

"Saya akan ke mana?"

Sembari mengeraskan rahang, pria itu beranjak dan berjalan menuju pintu.

"Ke tempat jauh. Sangat jauh."

****

"Baik, anak-anak. Sebentar lagi akan ujian kenaikan kelas. Ibu ingatkan sekali lagi untuk belajar dengan giat. Apa ada yang ingin ditanyakan sebelum Miss keluar?"

Seorang siswa tampak mengangkat tangan ke atas.

"Ya, silakan."

"Miss Saski, nanti kita ujiannya gabung sama kelas 10 lagi?"

"Kemungkinan besar, iya. Posisi duduknya juga seperti ujian semester kemarin."

"Baik, makasih, Miss."

"Oke. Sepertinya tidak ada lagi yang ingin bertanya. Kalau begitu, Miss izin keluar dulu, ya. Kalian bisa istirahat sekarang."

"Terima kasih, Miss!"

Setelah kepergian Saski, Sasta tidak kunjung beranjak dari kursinya. Gadis itu senantiasa menatap bangku kosong di sebelahnya. Mempertanyakan ke mana perginya sang empunya.

Mungkin Sasta tidak akan segelisah ini jika saja sang empunya tidak mengirim pesan pagi tadi.

Gue gak sekolah lagi.
Untuk jaket lo, ikhlasin aja.
Atau sini rekening lo.
Gue tau lo miskin.

Sasta menghela napas. Bahkan dia sampai tidak menyadari keberadaan Arjen yang telah berdiri menjulang di sampingnya.

"Kenapa? Kamu cape?" Arjen meletakkan telapak tangannya ke atas kepala Sasta.

"Enggak. Cuma ini aku bingung. Louis bilang dia gak sekolah lagi." Gadis itu mendecak kesal. "Terus untuk projek kemarin aku sama siapa coba? Masa harus sendiri sih? Nyebelin banget." Sebenarnya Sasta tidak mempermasalahkan itu sama sekali. Hanya agar terlihat punya alasan bagus saja.

"Kamu bisa gabung sama aku dan Thalia."

"Emang boleh?"

Arjen mengangguk. "Biar aku yang minta izin ke Ibu nanti."

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang