29 : Miracle A

4.4K 259 16
                                    

"Jangan terlalu bekerja keras."

Gerakan Sasta yang sedang membersihkan meja langsung terhenti. Mata gadis itu menyorot penuh pada sosok A yang duduk di salah satu kursi.

"Gak papa. Aku suka pekerjaan ini." Sasta tersenyum tipis. Dia tidak berbohong perihal menyukai pekerjaan sebagai pelayan cafe. Menurutnya itu tidak buruk. Karena selain sebagai jembatan untuk bisa berkomunikasi dengan A, Sasta juga bisa tetap menjalin hubungan dengan Dina---orang yang sudah berjasa di hidupnya saat menjadi Lamira.

"Kamu memang sangat baik." A menyeruput kopinya sejenak. Matanya mengawasi Sasta yang melanjutkan kembali pekerjaannya. "Tapi kamu tahu, kalau kamu ketahuan, kamu akan berada dalam masalah."

"Aku bisa bertingkah imut. Jangan khawatir." Sasta mengibaskan rambutnya dengan arogan. "Papa ternyata lemah sama akting imut aku. Luar biasa! Nasihat Om Aga ternyata benar. Papa itu gak bisa menolak pesona imut anaknya sendiri."

"Aga?"

"Hem! Dia tangan kanannya Papa. Saking percayanya Papa sama dia, Om Aga sampai diizinkan tinggal di rumah dan ikut makan keluarga."

A tersenyum tipis. "Saya tau."

Sasta terdiam sebentar kemudian merapikan posisi maskernya. "Ngomong-ngomong, rencana selanjutnya apa?"

Tak tak tak.

Bunyi yang berasal dari ketukan jari A mengisi keheningan singkat. Ia menopang dagu lalu menatap Sasta dengan lekat.

"Yang harus kamu lakukan adalah waspada, Sasta. Saya sudah membaca pergerakan mereka. Maka dari itu, kamu tidak boleh mati untuk yang kedua kalinya. Walaupun kamu bukanlah Sasta yang asli, tapi saya tidak bisa membiarkan kamu pergi untuk selamanya." A mengulas senyuman kejam. Melihat itu, Sasta langsung menghela napas pelan.

"Jangan khawatir. Sekarang aku punya seseorang yang bisa aku minta tolong kapan aja."

"Siapa itu?" A menopang dagu penasaran.

"Dia---"

Ceklek.

"Selamat datang di Cafe Miracle A!"

Atensi Sasta sontak beralih ke ambang pintu begitu mendengar sapaan Dina. Gadis itu lalu mengulas senyum lebar. Ia menatap A sejenak kemudian mengambil langkah mendekati seseorang yang kini sedang menatapnya dengan datar.

"Cie, yang mau jemput pacarnya." Sasta tersenyum menggoda sambil mencolek-colek lengan Arjen.

"Udah selesai?" tanya Arjen singkat.

"Hem!" Gadis itu mengangguk cepat dan berbalik sembari melepaskan perlengkapan kerjanya. "Kamu tunggu di motor aja. Aku mau pamitan sama yang lain dulu."

Arjen tanpa membalas langsung keluar begitu saja. Membuat Sasta hanya bisa mencebik kesal lalu menghampiri A yang sedari tadi duduk membelakangi mereka.

"Jadi dia itu Arjena, ya?" A menopang dagu. Sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya. "Sulit dipercaya dia tidak bisa mengenali Sasta yang sebenarnya."

Sasta mengendikkan bahu. "Entahlah. Biar bagaimanapun, aku gak bisa menggantikan posisi Sasta sepenuhnya." Gadis itu menatap Arjen yang sedang bersandar pada badan motor melalui jendela kaca. "Perasaan dia biarlah menjadi urusan dia. Aku pun gak keberatan kalau dia mencintai Sasta yang sebenarnya, alih-alih aku yang ada di tubuh ini sekarang."

"Kamu sangat bijaksana."

"Aku tau." Gadis itu tertawa pelan. "Tapi gak ada yang tau kalau suatu hari nanti dia akan menerima aku, 'kan?"

A mengangguk membenarkan. "Yah, pada akhirnya dia pasti akan tau semuanya. Arjena yang malang."

****

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang