48 : Keluarga Psikopat

2.3K 139 3
                                    

"Kemarin pasti sangat sulit."

Kekehan pelan mengalun dari Sasta. Gadis itu menatap wali kelasnya yang terlihat prihatin dan iba.

"Enggak begitu sulit kok, Miss. Walaupun nyebelin karena ulangan ulang, tapi aku rasa itu sepadan."

Saski tiba-tiba mencondongkan tubuh. Dia berniat membisikkan sesuatu. "Kamu tahu, rumor di antara guru-guru bilang bahwa Pak Romie ingin mengundurkan diri."

"Hah? Tiba-tiba?"

"Iya. Miss kaget waktu dengarnya. Secara beliau itu bisa dibilang punya pengaruh yang besar bahkan melebihi kepala sekolah." Saski geleng-geleng kepala. "Sulit dipercaya beliau melepaskan posisinya saat ini tanpa alasan yang jelas."

"Aku rasa dia bakal pergi untuk jadi guru besar. Miss tahu, seperti seharusnya. Tempat dia seharusnya emang di sana."

"Kamu benar." Saski memiliki pendapat yang sama. "Apa kemarin terjadi sesuatu? Rasanya cukup aneh mengingat Pak Romie mengundurkan diri tepat setelah kamu dipanggil beliau."

Sasta tersenyum tipis. Dia memasang raut pura-pura tidak tahu. "Entahlah, Miss. Mungkin itu emang keinginan Pak Romie sendiri."

"Mungkin, iya. Oh, ngomong-ngomong, Miss mau datang ke cafe tempat kamu kerja hari ini. Kamu tahu, Miss suka makanan di sana. Apa lagi menu barunya. Puding susu dengan saus gula aren. Itu enak banget."

"Syukurlah kalau Miss suka. Aku tunggu, ya."

Tepat setelah Sasta mengatakan itu, bel masuk telah berbunyi. Dia segera bangkit dan izin pamit kepada Saski.

"Aku ke kelas dulu, ya, Miss. Masih ada beberapa projek sebagai syarat kenaikan kelas yang belum selesai."

"Iya. Semangat, ya, projeknya!"

Sasta mengangguk seraya tersenyum tipis. "Makasih banyak, Miss."

****

"Akhirnya. Projek kita bentar lagi selesai." Thalia menghela napas lega sembari mengibaskan tangan ke wajah. Sesekali dia mengeluh panas sebab pendingin ruangan hari ini tidak mampu bertempur dengan panasnya Kota Jakarta.

"Untuk pertemuan terakhir, kita mau ketemuan di mana?" tanya Sasta seraya merapikan barang-barang di atas meja.

"Gue ngalur, Sas," balas Thalia. Dia melirik Arjen yang ikut membantu Sasta. "Gimana, Ar? Lo ada ide mau di mana?"

Arjen terdiam sejenak. Dia tampak memikirkan sesuatu dan terlihat sangsi untuk membicarakannya.

"Ada apa?" Sasta cukup peka. Lantas dia memegang pundak Arjen untuk menarik kembali atensinya.

"Aku gak bisa dalam waktu dekat ini."

"Kenapa?" sahut Thalia penasaran.

"Ada acara keluarga."

Sasta manggut-manggut mengerti. "Oh, yaudah. Biar aku sama Thalia aja. Lagian kita tinggal nyusun kerangka-kerangkanya."

"Iya. Lo pergi aja. Gak usah khawatir."

"Ya."

"Oke, Thalia. Untuk tempatnya, biar aku yang cari, ya. Nanti aku kabarin lagi lewat chat." Sasta mengucapkan terima kasih ketika Arjen mengambil alih tas punggungnya. "Kamu pulang sama siapa ini? Ada tumpangan?"

"Ada kok. Aman."

"Cave," celetuk Arjen. Thalia tampak terkejut. Berbeda dengan Sasta yang malah tidak mengerti.

"Kenapa Cave?"

Arjen menoleh pada Sasta. "Mereka dekat."

"Maksud kamu, Cave sama Thalia?" Sasta mulai tersenyum jenaka. "Wow. Diem-diem aja kamu, Thal."

I'm (Not) SastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang