43 - Penyesalan Senandika [END]

6.1K 767 1.4K
                                    

Fira tiba di rumah Om Vano dengan perasaan bahagia, karena tadi Sasya mengabari dirinya bahwa Davina telah tiada begitu pula dengan Rissa.

Ia sangat bahagia mendengar jika Rissa, saudari kembar Senan yang selalu memcurigai dirinya telah pergi.

Tak akan ada lagi yang mengganggu hubungannya dengan Senan.

Senyum sumringah dan bahagia tak luntur dari wajah Fira. Sembari bersenandung Fira masuk ke dalam ruang tamu menenteng dua buah koper untuk ia gunakan sebagai tempat Davina dan juga Rissa.

Koper besar itu rencananya akan digunakan untuk Triono dan Om Vano bawa ke rumah salah satu rekannya, dan menjual mayat Davina juga Rissa agar jejak kematian mereka berdua tidak terlacak.

"Gimana? Udah mati?" tanya Fira santai pada Sasya yang sedang berdiri di ambang pintu gudang.

Sasya mengangguk cepat. "Udah dong. Mereka udah mati sesuai permintaan kamu."

"Bagus."

"Dendam ku ke suami kamu udah terbayarkan, dendam kamu ke wanita tua itu udah terbayarkan juga. Dan cewek pengganggu hubungan kamu juga udah mati." Sasya berujar.

Fira tersenyum puas lalu berjalan membawa koper itu ke gudang.

Dari tempat ia berdiri, sebuah senyum jahat terukir nyata di bibir Fira.

"Hahaha, suruh siapa mama rusak kebahagiaan bunda! Suruh siapa mama bunuh Ayah Kevin? Selamat jalan mama," ucap Fira.

Fira dibantu oleh Sasya memasukan tubuh Davina ke dalam koper. Setelahnya mereka memasukan tubuh Rissa ke dalam koper juga.

Istri Senan itu berdecak pinggang, ia sangat puas. Ya, ia sangat bahagia dan lega melihat semua dendam bundanya terbayarkan lunas.

Selesai memasukan tubuh ibu mertua dan juga iparnya, sorot mata Fira berhasil menangkap tubuh anak kecil dengan dress perpaduan biru muda dan putih di sudut ruangan.

Merasa tak asing dengan dress itu, Fira segera berjalan mendekat untuk mengecek siapa gadis cilik itu.

Dengan ragu dan sangat hati-hati Fira membalik tubuh gadis cilik tersebut.

Jlegar!

"MEIII!"

Betapa kagetnya Fira saat menyadari jika gadis cilik itu adalah putrinya. Tangis Fira pecah seketika, dan menjerit sekencang mungkin memanggil nama Mei.

Gadis menggemaskan dengan senyum yang selalu berhasil membuat suasana menjadi ceria itu kini terbujur kaku.

Tangannya dingin, bibirnya pucat, tak ada lagi deru nafas dari hidungnya. Dress Mei pun dipenuhi darah.

Fira terus memeluk tubuh Mei erat dan menepuk-nepuk pipi putrinya agar Mei mau membuka mata.

Tapi Mei, masih saja terpejam dan tidak membuka matanya.

"Ini mimpi..."

"Mei..."

"Mei, sayang.."

"Sayang..."

"Sayang, bangun.."

"Mei..."

"MEIIII!!"

"MEI BANGUN! MEIII!"

"MEIII!"

"MEI INI MAMA!"

"MEIII!" jerit Fira histeris.

Dipeluknya erat kembali tubuh Mei. Ia bangkit dengan nafas yang tak beraturan. Kedua telapak tangannya mengepal erat.

Kini Fira telah berdiri di depan tiga insan yang tersenyum remeh kepada Fira.

SENANDIKA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang