Setelah berpamitan pada mereka, kedua pasangan itu pergi pulang. Tiba-tiba seseorang memanggil Yusuf dari belakang.
“Akhirnya Ibu menemukanmu Syakir, mari kita jenguk nenekmu.” Ucap seorang wanita berparas cantik.
“Maaf, Anda siapa? Saya bukan Syakir.” Dengan sopan ia menjawab ucapan wanita itu.
“Mungkin Ibu salah orang?” Sambung Hana.
“Tidak, tapi… sepertinya memang bukan Syakir, tetapi kenapa kamu mirip sekali dengan putraku dan suamiku?” Tanya orang di hadapannya.
Seorang laki-laki datang dengan keranjang bunga di genggaman tangannya. Betapa terkejutnya wanita itu melihat dua orang berwajah sama berdiri di dekatnya.
“Syakir? Kalau ini putraku lalu kamu siapa?”
“Saya Yusuf dan ini Hana,”
“MashaAllah, Nak? Kamu masih hidup? Alhamdulillah.” Ucap Wanita bernama Afifah.
Ha? Maksudnya apa?
Lelaki itu bingung maksud ucapan Bu Afifah.
“Jadi Anda adalah Bu Afifah Marantika? Te-terima kasih waktu itu telah menyelamatkan papa saya.” Ucap Hana memegang kedua tangan Bu Afifah.
“iya, sama-sama.”
Marantika? Apakah kalung yang berinisial M itu ada hubungannya dengan Bu Afifah? Apakah … dia Ibu kandungku?
Di Perjalanan pulang di dalam mobil, Bu Afifah menceritakan masa lalunya.
“Hanya karena cucunya laki-laki, neneknya membuang Yusuf? Tetapi kenapa Syakir bisa selamat?” Tanya Hana.
“Neneknya mengira hanya satu bayi yang lahir dan segera membuangnya, padahal ada satu bayi lagi. Hanya berjarak beberapa menit mereka lahir.” Jelas Bu Afifah.
“Ya Allah, kasihan sekali dia.” Batinnya melirik Yusuf.
“lalu di mana Nenek itu?”
“Selepas membuang bayi ke depan Masjid, beliau meninggal tertabrak mobil.” Jawabnya.
Tunggu, kenapa ceritanya mirip dengan mimpi ku waktu itu?
“Syukurlah, kamu sudah bertemu dengan keluargamu, dan aku harap Bu Afifah memang Ibu kandungmu.” Ucap Hana bersandar di bahu Yusuf.
“Iya Hana.” Jawabnya memegang kedua tangan Istrinya.
“Emmmm, Hana itu istrimu?”
“Iya, Bu.” Jawab Yusuf.
“Kapan kalian menikah?” Tanya Bu Afifah.
“Sudah 7 bulan yang lalu, iya kan Mas?” Jawab Hana menatap wajah Yusuf.
“Iya.”
“Oh begitu.”
Singkat waktu malam pun tiba, suasana tenang membuat seorang gadis fokus dengan kegiatannya. Dari kejauhan sepasang mata memandang gadis itu yang sibuk melukis wajah seseorang.
“Kamu melukis wajah siapa? Dari kemarin tidak pernah selesai?” Tanya Yusuf yang fokus dengan bukunya.
“Kau diam saja, akan ku kalahkan skill gambar Iis, pasti lukisan ku lebih bagus!” Jawab Hana penuh percaya diri.
Ketika menghampiri Hana, ia melihat wajahnya tengah dilukis di kanvas besar tersebut.
“Apa dia tidak mau kalah dengan lukisan Iis waktu itu?” Batin Yusuf.
“Sudah selesai, punya ku berwarna dan lebih bagus. Nah Yus, bagusan mana? Lukisan ku atau lukisan Iis?” lelaki itu terdiam sejenak.
Awas aja kalau dia bilang lukisan gue jelek, gak akan gue ajak bicara lagi!
“Ihhh jawab, Yusuf!” Kesalnya yang mencubit lengan kiri Yusuf.
“Iya-iya Hana, dua-duanya bagus.” Jawaban itu tidak cukup puas bagi Hana.
“Bilang aja lukisan gue jelek, gak usah bilang dua-duanya bagus!”
“Kamu tidak usah cemburu dengan hasil karya orang lain, yakinlah bahwa karyamu bagus, jadikanlah rasa iri mu itu sebagai motivasi untuk menjadi yang lebih baik.” Jelas lelaki itu membuatnya terpaku.
“He Yusuf? Apa kau pernah merasa cemburu?”
“Pernah, hal itu wajar dalam setiap hubungan, tetapi bila berlebihan hanya akan membuatnya sedih.” Jawab Yusuf disertai senyumannya.
He? Dia sadar gue cemburu sama Iis, bukan karyanya?
“Oh, gitu... Oke.” Ucap Hana yang beranjak dari duduknya.
Namun, kakinya terpeleset dan menarik kerah baju Yusuf untuk menghentikannya agar tidak terjatuh. Lelaki itu tak seimbang, dan ikut terjatuh ke lantai.
Bruk!
Matanya terbelalak melihat Yusuf berada di atasnya, salah satu tangan Yusuf menopang kepalanya agar tidak berbenturan dengan lantai. Suasana menjadi hening.
“Maaf, aku tak sengaja menarik kerah bajumu.”
“Harusnya kau berhati-hati untuk tidak meletakkan cat sembarangan.” Ucap Yusuf kembali ke tempat duduknya.
“Iya maaf, gue kan refleks kaget.” Jawab Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
YUSHAN [OPEN PRE-ORDER]
Romance[Open Pre-Order] Hidup sebagai mahasiswa sekaligus santri tak membuat Yusuf putus asa apalagi dirinya yang hanya seorang anak pungut yang di rawat oleh ibu angkatnya. Impian dan cita-citanya sempat terhambat karena ia harus menuruti permintaan ayah...