Waktu terus berjalan, di keheningan malam itu seorang gadis tengah menyisir rambutnya yang panjang. Sembari menatap cermin Hana melihat rambutnya yang sudah melewati pinggang.
Agak ngeri sih punya rambut panjang, gue pendek in lah nanti
Gadis itu menatap pantulannya di cermin.
“Kalung ini bagus juga, iya kan Mas? Coba deh liat.”
Lelaki itu berjalan mendekatinya.
“Iya, bagus.” Jawab Yusuf tersenyum.
“Oiya rambutku kan sudah terlalu panjang, mau aku pendekkan, gimana boleh?” Tanya Hana.
“Boleh, asalkan potongan rambutmu tidak menyerupai laki-laki.” Jawabnya membelai rambut Hana.
“Mas.” Panggil Hana.
“Hm? Kenapa?”
“Mau salad.” Pintanya.
“Jam segini? Mana ada yang buka Na tokonya.”
“Ih bukan beli tapi buat, ada kan buah-buahannya? Tadi kita beli sebelum ke sini.”
“Kenapa harus sekarang sih? Gua kan masih ada kerjaan, kalau gua bilang gak....” Batin Yusuf menatap istrinya.
“Ini anakmu loh yah.” Ucap Hana mengelus perutnya.
“Iya-iya kita ke dapur.” Jawabannya berhasil membuat gadis itu tersenyum.
Ketika berada di lantai satu, suasana tampak sunyi karena orang tua mereka dan pembantu di sana sudah tidur. Di dapur mereka mulai memotong buah.
“Kamu duduk saja biar aku yang potong buahnya.”
“Gak! Aku aja Mas.” Jawab Hana.
“Nanti tanganmu–”
“Udah sini aku aja, bisa kok.” Ucap Hana merebut pisau di tangan Yusuf.
“Hati-hati.” Ucap lelaki itu.
Baru beberapa detik ia bicara, salah satu jarinya teriris dan berdarah.
“Duh... Perih.”
“Kan baru beberapa detik aku bilang, aku saja sini.” Ucap Yusuf merebut pisau dan buah di tangan Hana.
“Aku aja Mas!”
Keduanya saling berdebat merebut pisau dan buah satu sama lain hingga pisau itu jatuh ke lantai.
“Awas! Hana, Kamu tidak apa-apa?” Tanya Yusuf.
“Aku–”
Suara tepuk tangan terdengar dari mulut dapur. Tampak seorang laki-laki berpakaian kantor tersenyum padanya.
“Ternyata yang berisik itu kalian, aku kira maling.” Ucap Syakir tertawa kecil.
“Tuh ada adikmu, sana pergi, kalo salad biar aku aja.”
“Tidak Hana, aku harus di sini.” Ucap Yusuf.
Melihat tatapan dingin dari Hana membuatnya terdiam dan mengikuti apa kata istrinya itu. Setelah berpesan untuk hati-hati ia berjalan menghampiri adiknya.
“Kak, bisa ikut aku? Ada yang mau aku bicarakan.”
“Iya.” Jawab Yusuf.
Di sebuah ruangan yang penuh dengan buku-buku di setiap sudutnya, laki-laki itu terdiam tidak bicara hingga satu kalimat terucap.
“Ada apa?”
“Ada yang mau aku bicarakan denganmu, Kak.” Jawab Syakir.
Wajahnya berubah menjadi serius di tambah suasana yang seketika hening.
“Katakan.” Ucap Yusuf.
“Aku... Aku akan ta'aruf dengan Nurul.” Lelaki itu tersentak mendengarnya.
“Jadi?”
“Apa kakak tidak marah? Aku tau kakak dulu menyukainya, kan?” Tanya Adiknya.
Yusuf terdiam lama, seakan berpikir jawaban apa yang pantas untuk jawaban adiknya.
“Kau tau dari mana?”
“Ayahnya Nurul yang menceritakannya, dulu... Nurul sering bercerita tentang mu pada ayahnya dan berharap kamu bisa menjadi pendampingnya tetapi tidak bisa.” Jelas Syakir.
“Syakir, aku sudah memiliki Hana, kenapa aku harus marah? Kalau itu yang terbaik untukmu kenapa tidak? Soal hubungan ku dengannya hanya masa lalu, sekarang kamu jalani taaruf itu sampai menikah nanti.” Jawaban itu membuat adiknya terdiam.
Apa yang dikatakan kakak benar, itu hanya masa lalu, tetapi....
Tepukan di pundak menyadarkannya.
“Kabari aku kalau kalian sudah memilih tanggal pernikahannya.” Ucap Yusuf tersenyum.
“Iya, Kak.”
Satu jam berlalu, setelah puas mengobrol dengan Syakir, ia kembali ke dapur yang sekarang sudah kosong tidak ada orang yang dicarinya.
“Apa Hana sudah kembali ke kamar?” gumamnya.
Saat sampai di kamarnya benar saja gadis itu sudah di sana menikmati saladnya sembari menonton film di laptop. Lelaki itu duduk di kursi meja kerjanya dan melamun.
Syukurlah kalau Syakir pilihanmu, aku ikut bahagia, Nurul....
“Hei, kau kenapa sih melamun gak jelas? banyak pikiran lagi.” Ucap Hana bernada kesal.
“Tadi Syakir cerita.”
Mendengar itu membuat Hana penasaran lalu mendekati Yusuf.
“Terus?”
“Katanya... Dia sedang ta'aruf dengan Nurul.” Jawaban itu sukses membuat Hana terkejut.
“What? Yang bener? Emmm... Kamu sedih?” Tanya Hana.
“Kenapa aku harus sedih?”
“Kamu kan suka Nurul, sekarang dia mau taaruf sama Syakir, kamu gak–”
“Untuk apa aku sedih, sekarang kamu kan istriku.” Jawabnya membelai lembut rambut Hana.
Semburat merah muncul di kedua pipinya.
“Aaaaa... bisa aja.” Ucap Hana menampar lembut pipi Yusuf.
Syukur deh kalau dia gak sedih, gue ikut bahagia atas pilihan Nurul, semoga taaruf mereka lancar
“Sudah malam tidurlah.”
“Iya tapi nanti, aku habisi salad ini dulu, mau?” Ucap Hana menawarkan salad itu.
Seketika tangan Hana di tarik dan duduk di pangkuan Yusuf. Lelaki itu memakan salad yang sudah ada di sendok yang di pegang Hana.
“Enak juga.”
“Iyalah, siapa juga yang buat salad nya.” Ucap Hana bangga.
“Mau lagi?” Ucap Hana menyodorkan sendok kepada orang di dekatnya.
Lelaki itu hanya tersenyum dan malah mendekat hendak menciumnya, Hana yang sadar mencoba menghindar tetapi tidak sempat.
Prang!
Sendok itu jatuh ke lantai, salad yang berada di sendok itu pun jatuh berserakan.
“Um... Mas, udah! Lihat sendoknya jatuh kan.” Ucapnya berhasil mendorong tubuh laki-laki itu.
“Salad di mulutmu lebih manis.” Ucapan itu berhasil membuat Hana tersipu malu.
“Ih kamu! Udahlah aku ke dapur dulu.” Kesal Hana meninggalkan Yusuf yang tertawa kecil.
Tak lama kemudian sebuah pesan masuk ke ponselnya, terlihat nama pengirim itu adalah Nurul.
"Assalamualaikum, Yusuf. Maaf bila aku mengganggu, bisakah besok kita bertemu? ada yang ingin aku sampaikan, Terima kasih."
“Waalaikumsalam, Di mana?” Balasnya.
"Di taman patung Angsa jam sembilan pagi."
“Baiklah.”
Pembicaraan pun berakhir.
Ada apa ya Nurul mengajak ku bertemu?
KAMU SEDANG MEMBACA
YUSHAN [OPEN PRE-ORDER]
Romance[Open Pre-Order] Hidup sebagai mahasiswa sekaligus santri tak membuat Yusuf putus asa apalagi dirinya yang hanya seorang anak pungut yang di rawat oleh ibu angkatnya. Impian dan cita-citanya sempat terhambat karena ia harus menuruti permintaan ayah...