1 bulan berlalu, setelah menjalani taaruf itu Syakir memutuskan untuk menikah dengan gadis pemilik pondok pesantren. Awalnya ia ragu karena nantinya akan memikul tanggung jawab yang sangat besar tetapi ia yakin mampu menjalaninya.
“Nikah sama Ning mimpi gak tuh.” Senggol Riyan teman kampusnya.
“Gua bela-belain dari khairo ke sini demi liat pernikahan lo Syakir. Selamat ye.” Kata Omar.
“Iya, Terima kasih.” Jawabnya tersenyum.
Seketika kakaknya datang dan mengajaknya untuk berbicara. Syakir pun pamit pada teman-temannya.
“Selamat.” Yusuf tersenyum padanya. Syakir hanya mengangguk.
“Kau tau kan menikah itu bukan main-main? Hanya satu pesan dariku, jangan menyerah dan putus asa, karena suatu hari nanti kamu akan menggantikan posisi Abi Salim di pondok pesantren dan akan memikul tanggung jawab yang sangat besar.” Ucap Kakaknya.
“Iya, pasti Kak! Eeee... Apa Kakak tidak sedih aku menikah dengan Nurul?”
“... Hahaha, hal itu lagi. Syakir, aku sudah bilang bahwa Nurul hanya lah masa lalu ku, aku bahagia Nurul menjadi pendampingmu.” Jawabnya.
“Begitu... Baiklah, aku janji akan selalu menjaga Nurul, dan tidak akan cepat menyerah.” Ucapnya semangat.
Pernikahan itu dilaksanakan di rumah keluarga Nurul yang tak jauh dari pondok pesantren. Kini di dalam kamar tampak seorang bidadari yang memandang dirinya lewat cermin.
“Apa ini mimpi? Menikah dengan laki-laki itu?”
“Ini nyata Nur, selamat ya... Aku senang sekali kamu dapat laki-laki yang Sholeh sama kayak Yusuf, semoga nanti aku juga.” Ucap Iis di dekatnya.
“Iya Is....”
Terima kasih ya Allah kau memberikan pengganti lain yang mengisi hatiku
Gadis itu meneteskan air matanya.
Beberapa menit berlalu terdengar suara ramai di luar yang di mana keluarga mempelai pria sudah datang. Tak menunggu waktu lama mereka melaksanakan ijab qabul tersebut.
“Is, kok aku tegang ya?” Tanya Nurul yang tangannya bergetar.
“Udah tenang aja.” Jawabnya. Iis menemani Nurul di kamar menunggu mereka dipanggil.
Saaaaahhhh.....
Suara gemuruh terdengar hingga ke dalam kamar. Bulir air menetes ke pipinya mengetahui bahwa kini dirinya telah sah menjadi pendamping Syakir.
“Aaaaa... Selamat Nurul.” Iis langsung memeluknya.
“Apah ini benar?”
Tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk ya siapa lagi kalau bukan Syakir dan keluarganya. Pintu pun dibuka terlihat wajah tampan dari laki-laki itu.
MashaAllah... Tampan sekali
Nurul tertegun melihat paras suaminya.
Cincin pun dipasangkan ke jari manis Nurul dan sebaliknya. Ini pertama kalinya ia menyentuh tangan Syakir yang dingin.
Dingin banget tangannya, apa dia tegang? Grogi?
Ia sekilas menatap wajah Syakir.
Mereka kembali ke pelaminan menyambut tamu yang sudah lama menunggu.
Di mana Hana dan Yusuf? Seharusnya mereka ada di sini
Matanya terus melirik ke sana kemari.
“Cari siapa?” tanya Syakir.
“Di mana Hana?”
“Oh Hana ya? Ada tuh di kamar mandi, biasalah mual-mual.” Alma yang mendengar langsung menjawab pertanyaan Nurul.
Iya juga ya, Hana kan sedang hamil wajar saja
Nurul tersenyum lalu mengangguk membalas jawaban Alma.
Hoekkk... Hoek! Uhuk... Uhukk!
Ia tak kuat menahan rasa mual itu.
“Ah sial! Kenapa harus sekarang sih mu... Um! Hoekkk!”
“Na, mau ku panggilkan dokter?” Tanya Yusuf dari luar kamar mandi.
“Tidak usah.” Jawabnya.
Di saat seperti ini lah aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku harus bagaimana?
Tepukan di pundak menyadarkannya, itu adalah papahnya.
“Sebaiknya kalian pulang.” Sarannya.
“Gak! Aku tidak mau pulang.” Sahut Hana membuka pintunya.
“Hana sayang... Kesehatan mu lebih baik.” Ucap papahnya.
“Tapi pah... Baiklah. Tapi aku pamit dulu sama Nurul dan Syakir, gak enak kalau langsung pergi.” Jawabnya.
Ketika akan pamit mereka melihat sesi pemotretan telah dimulai. Dengan semangat ia ikut untuk difoto bersama. Semua undangan terkejut melihat dua laki-laki kembar di pelaminan.
“Ku kira anak Bu Afifah satu ternyata ada lagi.”
“Iya jeng, kembar lagi.”
“Sama-sama ganteng lagi yah kayak bapaknya.”
Itulah perkataan yang ia dengar.
Tak lama mereka pun pamit dan meminta maaf karena tidak bisa hadir sampai akhir acara.
“Tidak apa-apa, kok. Pikirkan saja kesehatan mu, Na.” Ucap Nurul.
“Iya bener tuh.” Sambung Syakir.
Hana mengangguk dan segera berjalan pergi. Acara pun berjalan lancar hingga malam hari. Ketika semua tamu undangan sudah pulang kini tersisa dua keluarga yang tengah makan bersama di ruang makan.
“Nur, tadi Mpok Ida sudah bantu bereskan barang-barang mu.” Ucap uminya.
“Kenapa dibereskan Umi? Bukannya Nurul akan tinggal di sini?”
“Nurul, kamu akan tinggal di sini nanti, sekarang kamu tinggal di rumah suamimu.” Jelas Abinya.
“Tapi Abi–”
“Abi masih sanggup mengurus pesantren ini, suatu hari nanti kalian yang menggantikan posisi Abi dan Umi di sini.” Kata Abinya.
Berarti ini hari terakhir aku bertemu dengan Umi dan Abi? Padahal aku masih ingin bersama mereka
Gadis itu hanya tertunduk diam.
“Ah Iya, acaranya bagus sekali ya? Nurul cantik banget tadi.” Ujar Bu Afifah.
“Semoga kamu betah di rumah kami.” Ucap Ayahnya Syakir.
“Eh I-iya.” Jawabnya gugup.
Malam itu mereka pergi menuju kediaman Marantika. Karena jalanan yang panjang dan jauh membuat gadis itu terlelap. Sepanjang perjalanan hanya ponsel yang ditatap nya.
“Syakir, jangan sampai perhatian mu hilang pada istrimu, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan mu.” Pesan ibunya.
“Baik, Bu. Maaf.” Ucapnya segera mematikan ponselnya.
Ia melirik ke kirinya, terlihat gadis bercadar itu tertidur dengan lelap.
Syukur alhamdulillah aku menikah dengan perempuan Sholehah, Kira-kira apa kabar Syifa ya di khairo? Sudahlah lagian itu kan masa lampau
Lelaki itu tersenyum sembari menggenggam tangan kanan Nurul.
“Cieee senyum-senyum, terpesona banget yah?” goda ibunya.
Syakir hanya tersenyum mendengarnya.
Sesampainya di rumah. Mereka turun dari mobil dan segera masuk rumah. Melihat Nurul masih tertidur tak rela membangunnya dan akhirnya ia mengangkatnya pergi ke rumah.
“Kalian istirahat lah, pasti capek.” Ucap ibunya.
“Baiklah Bu.”
Sesampainya di kamar, ia membaringkan Nurul di kasurnya lalu menyelimuti nya dengan selimut.
“Lebih baik aku ganti kemeja ini dulu.” Ucapnya mendekati lemari.
Udara dingin terasa di kulitnya dan membuat Nurul terbangun. Ia samar-samar melihat sosok laki-laki yang tengah mengganti kemejanya. Lantas itu membuat Nurul terkejut menjerit.
“AAAAAAAaaaaaa!” Teriaknya langsung menutupi wajahnya dengan selimut terkejut melihat tubuh atletis nya Syakir.
“Dia kenapa?” gumamnya.
Lelaki itu mendekati Nurul lalu duduk di sampingnya.
“Nurul, kamu kenapa menjerit?” tanyanya.
“Kenapa kamu melepaskan kemeja itu? Mau apa?”
“Mau apa? Aku hanya menggantinya.” Jawabnya.
Mendengar jawaban itu membuatnya sedikit malu karena salah paham, gadis itu hanya menunduk dengan bulir air jatuh ke pipinya.
“Eh... Eh Nurul, maaf bila aku mengejutkan mu, maaf bila membuat mu salah paham. Sudah jangan nangis.” Ucapnya mengelus kepala Nurul.
Aku mau pulang... Aku takut di sini....
Ia mencoba mengangkat wajahnya menatap Syakir.
“Kamu tidak akan berbuat apa-apa, kan?”
“Berbuat apa-apa? Maksudnya?” Syakir bingung.
“Aku takut.” Ucap gadis itu.
“He... Kenapa takut? Kan ada aku. Rumah ini memang luas tapi kamu tidak usah takut, kamu tidak akan tersesat, kok.” Jelasnya.
“Bukan itu.” Ucap Nurul tak di mengerti nya.
“Lalu? Emmmm... Oiya kamu sudah salat?”
“Belum.”
“Salat, yuk?” ajaknya. Gadis itu mengangguk.
Mereka pun salat Isya berjamaah dilanjutkan tadarus bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
YUSHAN [OPEN PRE-ORDER]
Romance[Open Pre-Order] Hidup sebagai mahasiswa sekaligus santri tak membuat Yusuf putus asa apalagi dirinya yang hanya seorang anak pungut yang di rawat oleh ibu angkatnya. Impian dan cita-citanya sempat terhambat karena ia harus menuruti permintaan ayah...