13. Will I Give Up?

198 35 0
                                    

Satu bulan kemudian sejak fisioterapi pertamanya dilakukan

Tidak terasa satu bulan sudah Atsumu melakukan fisioterapinya. Pada latihan gerakan kaki pertamanya, maupun sampai sekarang, masih tidak ada perkembangan sedikitpun dari kakinya. Dia masih belum bisa berdiri. Fisioterapis yang menangani Atsumu juga sudah mengatakan bahwa tidak ada harapan lagi.

“Anda yakin mau meneruskan terapi ini? Bisa dilihat bahwa hasil dari fisioterapi ini nol. Tidak ada perkembangan sama sekali dengan kakak Anda”.

“Iya, saya yakin masih ada harapan”.

“Oke, nanti kita coba lakukan fisioterapi beberapa kali lagi”.

Aku masih percaya, Atsumu akan sembuh dan pulih seperti dulu lagi. Aku akan terus mencoba. Setidaknya fisioterapis tersebut belum mengibarkan bendera putih, tanda bahwa dia sudah angkat tangan dengan kondisi Atsumu.

Gapapa Tsum. Lo coba lagi besok, gue yakin lo punya kesempatan buat sembuh.

Aku terus mengatakan hal tersebut selama masa terapinya. Walaupun rasanya percuma aku mengatakan hal itu. Tapi aku harus melakukannya. Namun seperti yang aku duga, dia tidak memperdulikan kata-kata ku. Apa kamu memang benar-benar kehilangan semangat hidupmu, Tsum?.

Tetapi aku masih bersyukur. Dia kini sudah terbiasa dengan kursi rodanya. Tidak seperti dulu, dia sekarang bisa menggerakkan kursi rodanya sendiri. Tanpa bantuanku.

Pada malam harinya, aku terkejut. Dia tiba-tiba mencari bola voli kesayangannya. Yang sudah lama tidak dia mainkan karena kondisinya.

“Sam, lo lihat bola voli gue ngga”.

“Gue simpen di lemari lo paling atas. Kenapa lo tiba-tiba nyari itu?”.

“Yaa... gue cuma mau maen sebentar di halaman belakang”

“Yakin? Ini udah malem. Mending lo tidur”.

“Ngga. Gue mau main sekarang”.

Sepertinya psikoterapi yang dilakukan psikolog tersebut membuahkan hasil. Walaupun sedikit. Setidaknya dia mulai kembali melakukan hobi dan minatnya. Walaupun kebiasaan melamun dan menangis setiap hari masih sering dia lakukan.

Namun sekarang dia sering mengunci diri di kamarnya setiap selesai melakukan fisioterapi. Entah apa yang dia lakukan. Aku tidak mau mengganggunya. Setidaknya dia tidak melakukan hal-hal nekat seperti dulu lagi.

Setelah aku mengambil bola voli itu dan memberikannya, dia langsung pergi ke halaman belakang. Aku masih mengawasinya dari dalam. Aku takut hal yang tidak diinginkan terjadi padanya.

Ditemani suara jangkrik yang bersahut-sahutan, dia melakukan sebuah teknik sederhana. Passing. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Dia melakukan passing atas dan passing bawah secara bergantian.

BRUKKK

Mungkin karena gerakannya yang terlalu condong ke depan, dia tersungkur ke tanah. Lalu kepalanya menunduk. Tubuhnya terengah-engah. Dia memukuli kedua kakinya juga.

“AAAARGHHHHHHH”

Dia tiba-tiba berteriak. Aku lantas segera menghampirinya. Setelah aku mendekatinya, ternyata dia sudah bercucuran air mata.

“Lihat Sam. Cuma ini... Cuma ini yang bisa gue lakuin. Hahahaha cuma ini!!”.

Dia mengatakan hal itu, sambil tertawa. Aku tahu itu bukan tawa bahagianya. Itu adalah sebuah tawa yang menandakan dia frustasi, dia lelah, dia menyerah.

Bukan tawa kek gini Tsum yang gue harepin bakal keluar dari mulut lo, gue mau lihat tertawa lepas lo yang dulu sering lo tunjukin ke gue

Aku kemudian memeluknya. Berusaha membuatnya tenang.

“Ngga Tsum. Gue percaya lo bisa ngelakuin lebih dari ini. Gue percaya lo juga bakal main sama temen-temen lo lagi”.

“Apa? Gue ngga salah denger? Lihat Sam. lihat. Gue udah sering ngelakuin terapi Sam. Tapi apa hasilnya? Nihil. Ngga ada perkembangan dari kaki gue. Apa yang bisa gue harepin lagi?”.

Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Aku sebenarnya memang sudah mulai putus asa akan ini semua. Aku juga tidak mau memberi harapan palsu kepadanya.

Aku membiarkan dia melampiaskan semua kekesalannya. Mau dia menangis, mau dia memukuliku. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin dia merasa sedikit lebih tenang.

EVANESCENT [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang