24. Tragedy

183 38 0
                                    

Aku berlari ke atas setelah membaca pesan dari psikolog tersebut. Aku harus cepat-cepat kembali.

"BUNDAAAAA!!!!!"

Deg...

Sial. Itu suara Atsumu. Kenapa... Kenapa dia berteriak seperti itu? Apa dia sedang berhalusinasi sekarang?

Ngga-ngga ini kesalahan gue. Gue seharusnya ngga ninggalin dia sendirian. Apalagi di ketinggian seperti itu. Gue harus cepat-cepat pergi ke atas sebelum terjadi sesuatu..

Aku berlari menuju atas. Aku sempat terpeleset di tangga. Untungnya aku sigap memegang pegangan di tangga itu. Aku harus lebih berhati-hati.

Aku semakin menambah kecepatan ku ketika sampai di tangga menuju atap. Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan Atsumu. Aku mendengar Atsumu berbicara lagi ketika aku masih menaiki tangga tersebut.

"Tunggu Atsumu bunda, Atsumu mau duduk di sana, di samping bunda. Atsumu kangeeen."

Aku membuka pintu yang menghubungkan tangga dengan atap rumah. Aku melihat Atsumu sudah berada di dekat pembatas rooftop. Dia mencoba menaiki pembatas tersebut. Apa dia melihat mendiang bunda sedang duduk di sana?

Aku tak terlalu memikirkan itu. Aku spontan menghampirinya dan mencoba mencegahnya untuk menduduki pembatas tersebut. Karena jam 15.30 tadi baru saja hujan. Pembatas tersebut pasti licin. Aku juga mencoba memperingatkannya sambil berlari ke arahnya

"ATSUMU JANGAN NAIKI PEMBATAS ITU. PEMBATAS ITU LIC-."

Aku tidak sempat menyelesaikan kata-kataku. Dan sudah terlambat. Tangan Atsumu sudah terlanjur terpeleset. Dia jatuh ke bawah. Aku tidak sempat menahannya agar tidak jatuh ke bawah.

BRUKKK

"ATSUMU!!!!!!!"

Tubuh Atsumu jatuh terbentur paving semen yang keras. Dari atas terlihat jelas banyak darah keluar dari kepalanya.

Aku langsung turun ke bawah. Aku juga langsung menelpon ambulance. Aku harap Atsumu masih bisa bertahan dan berhasil selamat.

Aku sampai di halaman depan rumah. Langit tiba-tiba dipenuhi oleh awan hitam. Seperti turut bersedih dengan apa yang sedang terjadi. Sudah ada banyak orang yang berkerumun di sana. Aku menerobos kerumunan orang tersebut dan segera menghampiri Atsumu yang telah terkapar.

Aku lihat semakin banyak darah yang keluar di sekitar kepalanya. Lebih dari tadi. Aku segera memangku kepalanya dan mencoba menghentikan pendarahannya. Tak peduli dengan bajuku yang akan kotor penuh darah. Tubuhnya masih hangat, saat kucek denyut nadinya juga masih ada, walaupun sangat lemah.

"Atsumu... lo harus bertahan, Tsum. Kita tunggu ambulance datang. Nanti lo bakal ditangani di rumah sakit. Tapi plis gue mohon... Lo harus bertahan... Gue tahu.. Lo itu kuat.... Bertahan buat gue pliss..."

Tak lama kemudian ambulance datang. Mereka mengangkat tubuh Atsumu dan membawanya ke dalam ambulance tersebut. Setelah itu mereka pergi dengan bunyi sirine yang nyaring.

Aku masih terduduk di sana. Terduduk diantara kerumunan orang. Aku dicerca berbagai pertanyaan, tapi aku mengabaikannya.

Osamu, kakakmu kenapa bisa sampai jatuh?
Dia gapapa kan?
Yang sabar ya, Osamu.

Pikiranku kalut. Marah, sedih, kecewa. Semua bercampur menjadi satu. Semua ini salahku, andai aku tidak meninggalkannya sendirian. Hal ini tidak akan pernah terjadi.

Aku bergegas menyalakan mobilku dan menyusul ambulance tersebut ke rumah sakit. Aku menangis sepanjang perjalanan, mengkhawatirkan kondisi Atsumu. Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiranku. Aku sempat melihatnya tersenyum saat dia jatuh tadi. Apa maksudnya? Kenapa dia tersenyum seperti itu?

EVANESCENT [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang