26. Sadness

205 35 5
                                    

Hujan turun dengan derasnya. Dan aku baru sampai di rumah sakit. Karena di tengah jalan tadi aku terjebak macet karena baru saja terjadi kecelakaan.

Aku bergegas lari ke ruang unit gawat darurat. Aku sempat ditegur petugas rumah sakit karena berlari-lari di dalam rumah sakit. Aku tak menghiraukannya. Yang ku pikirkan sekarang hanyalah Atsumu.

Aku sampai di depan ruang UGD. Karena pintunya ditutup, aku mengintipnya dari sela-sela jendela yang berkorden putih tipis. Di sana terlihat samar-samar Atsumu sedang ditangani oleh seorang dokter perempuan. Tapi mengapa dia kemudian menutup wajah Atsumu dengan selimut?

Dokter itu berjalan menuju pintu. Aku langsung menghampirinya dan menanyainya.

"Bagaimana... Bagiamana keadaan dia?".

"Anda keluarga pasien laki-laki yang baru datang?"

"Iya.... Sa-saya adiknya."

"Saya sudah berusaha semaksimal mungkin... Tapi nyawanya sudah tidak tertolong saat dia tiba disini....."

Air mataku mengalir deras. Dadaku sesak. Hatiku hancur berkeping-keping mendengar kabar ini. Separuh jiwaku seakan menghilang. Atsumu. Atsumu sudah meninggalkanku sendiri di dunia ini.

"Setelah saya periksa dia mengalami pendarahan otak yang hebat. Kemungkinan itulah penyebab kematiannya. Saya minta maaf. Saya turut berdukacita atas kepergiannya. Anda bisa menemuinya sekarang".

Aku berlari ke dalam. Aku melihat seluruh tubuhnya sudah tertutup selimut Dari kepala sampai kaki. Tubuhnya terbujur kaku. Tanda dia sudah tiada.

Aku membuka selimut yang menutupi kepalanya. Dia terlihat tidur dengan tenang. Selamanya. Tubuhnya kaku, dan kulitnya terlihat pucat.

Aku langsung memeluk tubuhnya. Tubuhnya yang dingin sedingin es. Aku menangis histeris. Sudah lama aku tak menangis sehisteris ini. Terakhir kalinya aku ingat saat kematian orang tua kami.

"ATSUMU..... KENAPA.... KENAPA LO PERGI SECEPAT INI..... KENAPA.... KENAPA LO TEGA NINGGALIN GUE SENDIRIAN, ATSUMU.... KENAPA!!!!!!"

Tangisanku semakin menjadi-jadi. Semua kenangan kami terulang di kepalaku bak sebuah film dokumenter.

"LO INGET KAN???? KATANYA KITA MAU NGERAYAIN ULTAH SAMA-SAMA..... KATANYA LO JUGA PENGEN NAIK GUNUNG WAKTU KITA ULTAH...."

Aku tersenyum pilu disela-sela pelukanku. Aku mencoba mengusap air mataku. Tapi percuma. Air mataku semakin banyak mengalir.

"LO INGET ITU SEMUA KAN?? JADI PLISSS.. GUE MOHON.... GUE MOHON.... BANGUN ATSUMU.... BANGUN..... JANGAN TINGGALIN GUE.... GUE MOHON..... GUE MAU JANJI BAKALAN MAU MAIN VOLI LAGI... ASAL LO MAU BANGUN SEKARANG.... BANGUN, ATSUMU...... PLIS... GUE MOHON.."

Aku menyampaikan segala janji yang aku harap bisa membuatnya bangun. Tapi kenyataannya nihil. Dia tidak kunjung bangun dan menyapaku.

"NANTI KALO LO GA ADA..... SIAPA YANG BAKAL JAHILIN GUE.... SIAPA YANG MAU DEBAT LAGI SAMA GUE... SIAPA LAGI YANG MAU RIBUT SAMA GUE... SIAPA YANG BAKAL BIKIN BERISIK SAAT RUMAH SEPI.... CUMA LO, ATSUMU... CUMA LO.... JADI PLIS JANGAN PERGI..."

Aku melonggarkan pelukanku. Membiarkan tubuhku meluruh ke lantai UGD yang dingin. Air mataku terus mengalir. Aku tak bisa membendungnya.

Tak lama kemudian ada seorang petugas pengurus jenazah. Dia mengatakan akan segera mengurus jenazahnya Atsumu agar bisa segera dipulangkan ke rumah duka dan dimakamkan. Aku mengangguk lemah. Kemudian mereka menutup kembali wajah Atsumu dan membawanya entah kemana.

EVANESCENT [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang