Anak itu mencium punggung tangan ibunya sebelum berangkat ke masjid bersama kakeknya. Mereka berjalan bersisian, berpegang tangan, sesekali diayunkan. Dilihatnya wajah Kahfi tidak berseri seperti biasanya. Hal yang membuat Harist—kakek Kahfi dari ayahnya— mengerutkan kening.
"Masa uma bilang Kahf bisa sekolah kalau Kahf sudah hafal Quran. Memang apa hubungannya, Kek?"
Pria berperawakan gemuk itu langsung tersenyum. "Bagus dong, Kahf. Hafalannya dapat, sekolahnya dapat. Lalu apa yang Kahf sedihkan sekarang?"
Kahfi mengerucutkan bibirnya seraya menghela napas. "Kahf harus mengulang hafalan juz 27, Kek. Hafalan kemarin banyak kesalahan dan ada yang Kahf lupa."
"Jangan terburu-buru, ketelitian itu penting, Nak. Jangan karena ingin sekolah, Kahf tidak sabar ingin khatam hafal Quran. Kahf harus khusyuk dalam menghafal. Al Quran itu firman Allah, wahyu dari langit, Al Quran adalah kunci dari cita-cita setinggi langit. Dengan Kahf mencintai, memahami, mengamalkan dan menghafal Al Quran, itu bisa menjadi jalan tercepat bagi Kahf menggapai kesuksesan dunia akhirat."
Secercah harapan menghangatkan dada anak itu. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Nasihat dari kakeknya bagai embun yang menyiram hati kering, sejuk dan penuh kedamaian. "Iya, Kek."
"Semangat, dong! Kahf pasti bisa."
Anak itu menggerakkan kakinya untuk berjalan cepat. Padahal waktu asar masih lama, hanya saja Kahfi ingin segera ke masjid, melancarkan hafalannya di sana, memperbaiki niatnya yang sempat tersesat.
*
"Dasar dari kebijakan dan tindakan seorang pemimpin adalah kemaslahatan bangsanya. Jangan banyak menuntut, tetapi perbanyaklah memberi. Jangan banyak mengumbar janji, tetapi berikan bukti yang pasti. Jangan ingin senang-senang saja, tetapi harus melayani dengan sepenuh hati."
"Siapa pemimpin terbaik di muka bumi ini, Uma?" tanya Kahfi dengan ekspresi penasarannya.
"Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Beliau adalah pemimpin yang bertindak tegas demi kebaikan umat, bukan untuk kebaikan diri sendiri atau kelompoknya semata. Beliau amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin."
Anak itu menunjukkan senyum penuh kekaguman. "Nanti Kahf harus menjadi pemimpin, pemimpin yang mengambil teladan dari Rasulullah."
Meski baru ucapannya, Shafiyah sungguh terharu mendengarnya. "Harus. Nanti Kahf harus jadi seorang pemimpin yang punya rasa kasih sayang serta memberikan peta jalan menuju cita-cita dan harapan mereka."
"Kalau menjadi pemimpin, apakah harus sekolah dulu, Uma?"
Ini sudah masanya Kahfi terobsesi dengan sekolah, mempunyai baju seragam dengan teman-temannya, hormat kepada guru, belajar bersama dan membincangkan tugas setelah pulang sekolah. Itu adalah hal yang Kahfi inginkan.
"Tidak, Sayang. Menjadi seorang pemimpin bukan dilihat dari sekolahnya, tetapi ilmu dan jiwa kepemimpinannya. Jika Kahf sungguh-sungguh, Kahf akan mendapatkan yang Kahf mau, suatu hari nanti."
Shafiyah berjanji meski Kahfi tidak sekolah seperti teman seusianya, tetapi dia bisa menjamin jika sistem pendidikannya tidak akan kalah dengan sistem yang ditetapkan pemerintah. Dengan segala kemampuannya, Shafiyah akan memberikan yang terbaik untuk anak tunggalnya. Shafiyah akan mendampingi perjuangan putranya berdasarkan nilai-nilai Quran dalam mengejar cita-citanya.
Quran yang disimpan di rekal ditutup oleh Kahfi. Matanya menatap sang ibunda dengan tatapan teduh. Kahfi adalah air bening penyiram hati bagi Shafiyah. "Uma adalah guru terbaik bagi Kahf. Kahf tidak perlu sekolah, Uma. Kahf mau uma saja." Anak itu menumpukan kedua lututnya, bergerak dengan kecepatan pelan lalu mengecup pipi sang ibunda tanpa tertutup sehelai benang.
Wanita itu merengkuh putranya ke dalam pelukan, mengusap lembut punggung kecil itu seraya membisikkan doa di telinga Kahfi. "Jadilah anak shaleh, Nak."
Di keheningan malam, udara dingin sangat menusuk, beberapa hal unjuk suara untuk mengisi malam. "Uma... Kahf ingin tidur," katanya masih dalam dekapan.
*
"Uma, kenapa Thomas Edison bisa menjadi ilmuwan tanpa sekolah?" tanya anak itu setelah menutup buku cerita anak yang mengangkat kisah ilmuan jenius yang mempunyai hak paten lebih dari seribu temuan.
"Karena dia rajin dan selalu bekerja keras."
Kahfi mengangguk paham. Matanya seakan menerawang sesuatu.
"Nancy Matthews Elliot adalah seorang ibu di balik kesuksesan Thomas. Dia mengasuh, mengajar, dan mendidik Thomas dengan sabar dan penuh ketulusan hingga akhirnya menjadi tokoh jenius yang mampu mengubah dunia." Sebelah tangan Shafiyah bergerak merapikan rambut putranya. "Nak, besar harapan uma seperti ibunya Thomas. Uma ingin Kahf sukses berkat peran uma." Dia mengecup puncak kepala sang putra kemudian tersenyum lebar penuh harapan.
Shafiyah menyadari betul bahwa tugasnya sebagai orang tua untuk membentuk anaknya menjadi seseorang yang berkarakter, bermoral, dan berpikir cerdas. Sekolah hanya membantu saja. Namun, Shafiyah belum punya cukup biaya untuk itu. Setidaknya, untuk saat ini, biarkan dia sendiri yang mendidik Kahfi dan berusaha menjadi ibu terbaik.
"Uma, apa Rasulullah pernah sekolah?"
Inilah kehebatan Kahfi dibanding anak yang lain. Dia mempunyai keingintahuan tinggi dalam banyak hal. Di sinilah peran besar seorang ibu. Menjadi seorang ibu yang cerdas adalah suatu keharusan. Ketika seorang anak bertanya, sang ibu harus menjawabnya dengan penuh keyakinan sesuai fakta dan data. Shafiyah memegang prinsip jika menginginkan sesosok anak yang taat dan cerdas, maka dia harus mendidiknya dengan baik, bukan dibiarkan tumbuh begitu saja. Karena pendidikan adalah pilar penting untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
"Tidak, Nak. Rasulullah shallallahu alaihi wassalam tumbuh menjadi manusia cerdas dan berakhlak dibina langsung oleh Allah subhanahuwataala. Rasulullah adalah guru pertama yang menyebarkan ilmu berlandaskan nilai-nilai dari Al Quran dan sunah rasul. Rasulullah pernah mengisyaratkan pentingnya ilmu dalam sabdanya, 'barangsiapa yang menginginkan dunia hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat hendaklah dengan ilmu, barang siapa yang menginginkan kedua hendaklah dengan ilmu'." Shafiyah tersenyum seraya mencuil hidung minimalis yang Tuhan titipkan kepada putranya. "Jadi, uma tegaskan lagi, yang paling penting bukan sekolahnya, tetapi ilmunya. Paham?"
Anak itu mengangguk, memberikan kesan lucu.
"Di mana pun nanti Kahf sekolah, jangan memandang sekolahnya. Mau tempatnya kecil atau besar, baik atau buruk, terpandang atau tidak. Tugas Kahf hanya satu, menuntut ilmu."
"Terima kasih, Uma. Uma sudah ajarkan Kahf banyak hal. Meski Kahf tidak belajar di sekolah formal, tetapi Kahf punya guru terbaik yang tidak ada tandingannya."
Ungkapan Kahfi mengundang senyum di bibir Shafiyah. Itu memang sudah tugasnya sebagai seorang ibu. "Uma janji akan berikan semua yang terbaik."
Anak itu beringsut memeluk umanya. Membenamkan kepala dalam dada sang bidadarinya, mendengarkan ritme jantung yang tenang. "Kahf sayang uma karena Allah."
Air mata jatuh begitu saja mendengar ungkapan putranya. Kahfi sudah mengikrarkan menyayanginya karena Allah, kalimat sederhana yang bermakna dalam. Ungkapan cinta yang melibatkan nama Allah bukanlah ungkapan sembarangan. Kahfi adalah sesosok anak yang menjadi ekspektasi seorang ibu di muka bumi ini. Dari ketaatannya, perkataannya, dan perbuatannya selalu membuat dada siapa pun bergetar.
Maafkan uma yang belum bisa memberikan banyak materi. Yang uma tahu, ilmu itu adalah cahaya paling dahsyat di muka bumi ini. Semoga ilmu yang uma beri membawa Kahf ke dalam keselamatan dunia akhirat.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAHFIpt.II
Spiritual[Part 2 novel Kahfi] "Sayang, meskipun Islam tidak lagi menjadi penguasa di dunia, tetapi ajaran-ajaran Islam yang dibawa Rasulullah telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Dan hal itu merupakan mutiara bagi peradaban dunia. Kahf harus tahu, sekal...