Menyuarakan Dakwah

20 6 0
                                    

Wanita itu berulang kali menguap. Namun, dia tidak bisa tidur sebelum tugasnya selesai, membuat peta wilayah dakwahnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam. Berulang kali juga sebelah tangannya memijat kedua pelipis. Shafiyah merasa lelah. Namun, ketika matanya melihat sosok Kahfi yang tertidur pulas, ada semangat baru untuk segera menyelesaikan tugasnya, untuk Kahfi.

Dia melewati malam tanpa terpejam.

Sampai waktu sudah pertengahan sepertiga malam, Shafiyah bangkit untuk menunaikan ibadah rutinnya. Kahfi pun biasa terbangun di akhir sepertiga malam. Seperti biasanya, mereka berbincang hal yang bermutu sambil menunggu azan subuh.

Shafiyah menceritakan keikutsertaan Khadijah bin Khuwailid dalam setiap usaha untuk eksistensi dakwah. Bahkan tidak segan-segan menyerahkan seluruh kekayaannya kepada Muhammad untuk kepentingan dakwah.

"Kita tidak punya kekayaan seperti Khadijah untuk berdakwah, Uma," ujarnya dengan suara sedih. Anak itu menunduk menatap Quran yang tertutup di atas rekal.

"Itu bukan suatu halangan, Sayang." Wanita itu mengangkat dagu putranya supaya mereka saling tatap. "Kita memang bukan orang yang berlimpah kekayaan. Namun, untuk sekarang, ilmu adalah aset paling berharga bagi seseorang. Kahf bisa dakwah di mana pun asalkan Kahf punya ilmu."

"Bagaimana caranya, Uma?"

Shafiyah tersenyum, dia berhasil mengundang pertanyaan itu. Namun, penjelasan Shafiyah harus terhenti saat azan menggema ke seluruh pojok kampung. Kahfi bersiap untuk berjamaah di masjid, Shafiyah mengantarkannya sampai di pintu depan.

Napas wanita itu terembus pelan, senyumnya tidak luntur menatap punggung kecil itu menerjang malam menuju masjid.

*

Suasana dingin perbukitan semakin menjadi akibat turunnya hujan. Suara dari luar sana terdengar begitu nyaring sesuai irama. Shafiyah membalut tubuh putranya dengan kain wol yang belum dijahit. Sehabis keduanya menyeruput segelas teh, Shafiyah bersiap menunjukkan peta perjalanan dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam yang dibuatnya semalam.

Sorot mata Kahfi tegas memerhatikan ke mana telunjuk sang ibunda bergerak di atas peta. Telinga Kahfi tajam mendengarkan apa yang dikatakan sang ibunda.

"Jalur-jalur itu membentang dari Makkah, Hudaibiyah, Usfah, Tsaniatul Marrah, Dzatul Jasy yang langsung ke gerbang Yatsrib. Dengan menghindari jalur utama, Rasulullah shallallahu alaihi wassalam selamat dari kejaran kafir Quraisy."

Kahfi terus mendengarkan penjelasan sang ibunda. Dakwah Islam adalah upaya transformasi dan internalisasi nilai-nilai ajaran Islam kepada umat manusia. Dan di dalamnya memerlukan sistem perencanaan yang matang dan memadai untuk mencapai hasil dan tujuan yang diharapkan.

Setelah penjelasan panjang lebar Shafiyah, Kahfi beringsut mendekati sang ibunda tanpa mempedulikan kain wol yang menghangatkan tubuhnya merosot. Kedua tangannya menggenggam kedua tangan Shafiyah lalu dicium beberapa kali.

"Uma, Kahf mau sekolah, mau banyak ilmu, untuk dakwah."

Hati Shafiyah teriris. Kerongkongannya langsung sakit ketika air liur berusaha melintas. Matanya langsung berkaca mendengar suara Kahfi yang serak penuh harapan. Shafiyah menyadari banyak kekurangan dan keterbatasan ilmu. Sebaik apa pun pendidikan yang diberikannya kepada Kahfi, pendidikan itu tampak masih kurang. Dan memang sudah saatnya Kahfi dibebaskan untuk mencari ilmu di luar sana, tidak hanya bertumpu kepadanya saja.

Tangannya merengkuh si kecil kesayangannya ke dalam pelukan. "Kita tidak punya apa-apa selain Allah. Jika Kahf ingin sekolah, ingin menuntut ilmu ke penjuru dunia, dan ingin menjelajah alam semesta, minta sama Allah, baca Quran, pahami Quran, hafalkan Quran." Kepalanya ditundukkan hingga air matanya jatuh ke punggung putranya. "Jangan pernah menyerah, Sayang. Allah selalu bersama kita." Shafiyah mengecup puncak kepala putranya dengan lembut dan penuh kasih sayang dalam jangka waktu yang lama.

KAHFIpt.IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang