Ini Tentang Cinta

10 5 0
                                    

            "Selesaikan dulu pendidikanmu, dengan begitu kau bebas membawa putriku pergi, ke mana pun. Aku akan selalu percaya padamu."

Dua kalimat Syekh Gifrani itulah yang membuat Kahfi gencar ingin segera menamatkan pendidikannya di Libya supaya cepat pulang ke Indonesia. Yang paling membuat Kahfi bahagia tiada batas adalah; kepulangannya ke Indonesia suatu hari nanti akan bersama istri shalihahnya, perempuan penyejuk hatinya, cinta kasihnya. Dan Kahfi benar-benar mengorbankan banyak hal untuk pendidikannya, termasuk waktu dan pikiran. Tidak apa-apa, ini semua untuk Islam dan Indonesia.

"Aku sudah tahu jawaban kamu jika ditanya seberapa cintanya kamu dengan Indonesia," ujar wanita itu lalu menghela napas berat. "Cinta benar-benar membuat kamu buta dan melupakan satu hal besar. Kamu lupa mencintai diri sendiri." Wanita itu mengikis jarak dengan suaminya, menggerakkan tangannya untuk menempelkan telapak tangan kanan di dada Kahfi. "Indonesia akan sangat sedih jika kamu sampai sakit lagi, Kahfi. Karena Indonesia takut kehilangan satu pemuda yang sangat peduli dan mencintainya. Aku tidak akan mempermasalahkan kesibukan kamu selama kamu masih memenuhi hak aku. Namun, ingatlah, belajarlah dengan khusyuk, jangan terburu-buru."

Pernikahan benar-benar berefek dahsyat. Kahfi benar-benar menemukan kenyamanan yang tak terjabarkan. Ulya Fatimatun Nafs bin Gifrani, istrinya ini adalah sosok wanita penyejuk hati dalam keadaan apa pun. Selalu mengerti, taat, dan sangat santun.

Kahfi langsung memeluknya dengan lembut, mengecup puncak kepalanya, menikmati kenyamanan dan ketenangan dalam pelukan itu. "Terima kasih."

"Kamu baru sembuh. Jaga kesehatan kamu, ya. Bukan hanya Indonesia yang takut kehilangan kamu, aku juga."

Senyum Kahfi muncul begitu saja. Betapa bersyukurnya Kahfi kepada Tuhannya yang telah memberikan istri seshalihah ini kepadanya. "Iya."

"Sebelum kamu mencintai orang lain, kamu harus mencintai diri sendiri dulu."

Kahfi semakin bangga dan senang jika sudah di hadapkan dengan Ulya. Jika Chika didominasi rasa malunya, Ulya didominasi perhatiannya. Kahfi tidak akan melupakan setiap sikap-sikap yang menunjukkan malunya Chika. Dan Kahfi juga tidak akan melupakan setiap perhatian-perhatian yang Ulya berikan. Sungguh, dua wanita hebat yang menjadi bagian dari hidup Kahfi benar-benar luar biasa.

Air mata Kahfi jatuh di bahu istrinya. Kenangan yang muncul di benaknya bukan hanya tentang Chika, tetapi kebersamaan dengan ibunya. Tidak ada yang lebih pedih daripada kehilangan sang ibunda. Kahfi benar-benar tidak sanggup mengingat itu, tetapi otaknya terus memutar kenangan-kenangan manis bersama ibunya.

"Saya mencintai uma lebih dari apa pun," gumam Kahfi seraya memejamkan matanya.

*

"Seperti ini, tidak tahu dari mana mulainya, saya tumbuh di bawah didikan terbaik uma. Saya diajari tentang cinta yang sebegitu dahsyat sampai dada saya merasakan sesuatu yang besar. Tentang Allah, Islam, Quran, alam, negeri, dan sesama manusia. Dulu sekali, sewaktu kecil, saya tidak paham apa itu cinta, bagaimana itu cinta, seperti apa bentuknya. Saya tidak tahu apa-apa tentang cinta, tetapi ketika itu saya sudah mampu merasakan getarannya. Ketika saya mendengar uma bercerita tentang Rasulullah, membaca atau mendengarkan kalam suci Allah, melihat pesona alam, atau memandangi insan-insan yang ada di sekitar saya."

"Dan selalu, di balik kehebatan seseorang, pasti ada seorang ibu yang berkorban banyak," sahut Ulya dengan mata yang sudah dilapisi cairan bening. Dia terharu mendengar cerita inspiratif suaminya.

"Ya, benar sekali. Uma, uma, uma. Saya tidak akan bisa apa-apa dan jadi apa-apa tanpa uma. Saya sangat mencintainya. Jika semesta ini luas dan tak terbatas terbukti nyata, maka cinta saya untuk uma melebihi luasnya semesta yang tak terbatas ini."

KAHFIpt.IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang