Pergilah

11 6 0
                                    

            "Kahf mau sekolah?"

Anak itu menggeleng pelan. Tidak ada sekolah terbaik selain rumahnya, tidak ada guru terbaik selain ibunya. Hasrat Kahfi untuk sekolah seakan lenyap. Ilmu-ilmu yang sudah sang ibunda berikan sudah lebih dari cukup baginya. Untuk apalagi sekolah?

"Kenapa? Kahf sudah hafal Quran, ini saatnya Kahf harus keluar dari rumah, jelahi dunia, dengan ilmu yang kamu dapatkan dari luar sana."

"Kahf tidak mau, Kakek. Kahf tidak akan pernah menemukan guru sesempurna uma."

Harist menghela napas lelah. Senyumnya terbentang sempurna, tetapi terlihat sekali jika itu dipaksakan. Shafiyah tidak akan pernah terganti, tidak akan pernah mati di hati Kahfi, tetapi sikap Kahfi tidak seharusnya seperti ini. Untuk anak kecil yang masih memerlukan afeksi dari kedua orang tuanya, mungkin kenyataan ini memang sulit, terlebih Kahfi lahir tanpa seorang ayah. Namun, Kahfi juga harus belajar mengikhlaskan, kematian itu hal mutlak, tidak ada yang bisa mengganggu gugat.

"Ya sudah. Kahf mau makan?"

Kahfi menggeleng lagi.

"Kahf belum makan dari pagi. Jika Kahf terus sedih seperti ini, uma juga sedih melihat Kahf dari sana."

Anak itu menatap mata kakeknya secara mendalam, seolah sedang mencari sesuatu di dalam sana. "Uma tidak akan sedih. Kahf selalu mendoakan uma, Kek. Kahf selalu minta sama Allah untuk berikan surga supaya uma bahagia di sana, bertemu abati, bertemu Rasulullah."

Tangan Harist bergerak, menyelusup ke belakang kepala cucunya. "Ikhlaskan uma, Nak. Uma milik Allah. Sekarang, tugas Kahf harus menjadi anak baik untuk mempersiapkan pertemuan Kahf bersama uma dan abati di alam keabadian. Di sana Kahf bisa selamanya hidup bersama orang-orang yang Kahf cintai."

Kahfi hanya mampu mengangguk kecil, berusaha menekadkan dalam hatinya untuk menjadi anak baik. Hidupnya harus berlanjut meski tidak ada sang ibunda di sisinya. Air matanya menggenang, berusaha menahan gejolak sesak dalam dada. Kahfi berjanji akan membawa jasa-jasa umanya menjelajahi dunia, akan Kahfi jadikan jasa-jasa itu pilar dari kesuksesannya suatu hari nanti.

"Uma memang sudah tidak bisa menemani Kahf seperti sedia kala, yang selalu ada di sisi Kahf. Namun, uma akan selalu ada di sini." Harist menempelkan ujung telunjuknya ke dada Kahfi. "... di hati Kahf, selamanya. Jangan pernah merasa Kahf kehilangan uma. Uma akan selalu ada bersama Kahf, meski tidak terlihat. Ikatan cinta tidak akan putus begitu saja meski dipisahkan oleh dua alam, itulah cinta Ilahi."

Kahfi terisak, air matanya mulai menetes. Tangan Harist bergerak menghapus air mata itu.

"Sekarang Kahf harus makan, ya? Untuk menjadi anak baik dan cerdas, Kahf perlu asupan makanan untuk menunjang daya tahan tubuh. Supaya uma senang, uma bahagia, dan bangga sama Kahf."

Senyum di tengah isakan perlahan tebit dari bibir Kahfi. Secercah sinar harapan perlahan timbul dari wajahnya. Kahfi menerima uluran kakeknya lalu mereka berjalan bersisian sambil berpegangan tangan menuju ruang makan.

*

Anak berpeci sobek itu menumpukkan sebuah buku sebagai alas untuk melihat aktivitas anak sekolah formal di dalam kelas dari balik kaca jendela. Deretan angka di papan tulis sedang disalin oleh muridnya.

Di sana ada soal pecahan campuran yang bisa dia jawab hanya dengan memejamkan mata bebepa detik. Seorang anak berperawakan gempal yang duduk paling belakang menangkap basah aksi anak berpeci sobek tersebut. Dia tidak takut, justru dia tersenyum kepada anak yang menangkap aksinya lalu melambaikan tangan, memberi kode supaya menghampirinya di luar kelas.

Si gempal itu mengangkat tangan. "Bu, aku izin."

Sang guru yang sedang merangkum materi menoleh. "Mau ke mana, Nak?"

"Keluar, Bu. Sebentar saja."

"Silakan."

Si gempal segera melesat dari ruang kelasnya untuk menemui orang di balik kaca jendela itu. Napasnya tersendat-sendat ketika sudah berhadapan dengan anak yang bertubuh kecil, tetapi wajahnya putih dan tampan. Kedua tangannya ditumpukan ke lutut, berusaha menetralkan detak jantungnya.

Anak berpeci sobek tersebut mengulurkan sebelah tangan. "Namaku Kahfi, biasanya dipanggil Kahf."

Anak berperawakan gempal menyambutnya dengan senang hati. "Bombom." Dia memamerkan senyum lebarnya sampai kedua pipinya mengembang sampai matanya tertutup rapat dipenuhi pipi.

Kahfi terkekeh melihat wajah lucu anak di hadapannya. "Kamu bisa mengerjakan soal di depan sana?"

Bombom menggeleng cepat, pipinya bergetar karena aksi itu.

"Kenapa?" tanya Kahfi lagi.

"Karena tidak bisa mengerjakannya."

Jawaban apa itu? Kahfi menggelengkan kepala seraya mengulurkan tangan ke bahu Bombom. "Mau Kahf bantu?"

"Mauuu," serunya semangat sekali.

"Sebentar, Kahf akan buatkan contekan dulu."

Kahfi cekatan menyobek selembar kertas dari tumpukan buku yang tadi membantunya mengintip aktivitas di dalam kelas. Tidak ada pencil ataupun pena, Kahfi mengorbankan telunjuknya bercampur dengan tanah. Dia menjadikan elemen tanah sebagai sarana pengganti tinta.

"Bawa ini, salinlah dengan tulisan kamu, lalu tunjukkan kepada guru kamu."

Bombom mengangguk patuh. Dia mengucapkan terima kasih lalu berlari secepat mungkin untuk kembali ke kelasnya. Kahfi kembali mengintip kelas. Bombom benar-benar menjalankan perintah Kahfi untuk menyalin contekan lalu menunjukkan kepada gurunya.

Tampak sekali dari pengamatannya jika Bombom sedang dipuji. Mereka bercakap sebentar kemudian Bombom menunjuk tepat ke arah Kahfi. Hal tercepat yang anak itu lakukan adalah berlari, menghindari orang lain mengetahui keberadaannya.

*

"Kahf tidak boleh berhenti. Ilmu Allah itu tidak terbatas. Buatlah kisah perjalanan hidup mengarungi dunia. Namun, ingat, tinggalkan itu semua ketika Kahf sedang bersujud. Kahf juga harus selalu hadirkan cinta dalam setiap suka dan duka."

Anak itu menunduk di hadapan seorang wanita bergaun putih dihiasi mahkota di atas kepala. Air matanya menetes tak tertahan. "Kahf ingin melakukan perjalanan itu bersama uma."

"Uma akan selalu menemani setiap perjalanan Kahf. Selalu, Sayang." Tatapan teduh Shafiyah menatap lembut putranya, mengelus rahang kecil itu dengan penuh kasih sayang. "Uma tidak akan mati, uma akan hidup selamanya di sini." Telapak tangannya yang tampak bersinar disimpan tepat di dada Kahfi. "Pergilah, cari ilmu ke mana pun, jelajahi dunia, jangan pernah hentikanlah langkahmu, Nak."

"Umaaaa," teriak anak itu seraya terbangun. Napasnya memburu ketika kembali lagi ke alam nyata. "Ya Allah...." Kahfi segera beristigfar sebanyak mungkin sampai napasnya kembali normal dan hatinya tenang.

Anak itu beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi. Sebaiknya Kahfi melakukan salat malam daripada terus memikirkan kesalahannya selama ini.

Kahfi cukup shock dihadapkan dengan kepergian sang ibunda. Perpisahan tiba-tiba belum siap Kahfi terima sehingga jiwa Kahfi terombang-ambing. Namun, mimpi itu menyadarkannya. Seharusnya Kahfi tidak bersikap seperti ini.

Hamparan sajadah yang membentang ke arah kiblat dan sujudnya Kahfi di saat orang-orang sedang tidur adalah bentuk cinta besar hasil dari didikan Shafiyah. Sungguh, itu adalah investasi terbaik sepanjang masa untuk kebahagiaan di kehidupan akhirat. Kahfi mengangkat kedua tangan, memuja Allah sambil menangis, dan mendoakan ibunya.

"Kahf akan sekolah, Uma. Kahf juga akan menjelajahi dunia dan memperbaiki peradaban. Kahf berjanji dan akan bertanggung jawab atas itu," ungkapnya sungguh-sungguh, penuh dengan ketulusan dan keyakinan.

KAHFIpt.IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang