Membangun Keikhlasan

16 6 0
                                    

            "Uma...," panggilnya setelah lama menunggu sang ibunda bangun dari sujudnya.

Sampai adan subuh memecah keheningan kampung, Shafiyah tidak juga bergerak. Kahfi semakin khawatir, lalu bergerak mendekat, untuk memastikan ibunya tidak tidur dalam keadaan sujud. Tangannya menyentuh tubuh wanita terbalut mukena putih itu, reaksi dari tindakan Kahfi membuat Shafiyah terjungkal. Anak itu refleks membuka mulut disertai mata yang membulat.

"Uma...," panggilnya kali ini lebih keras seraya mengguncang tubuh ibunya. Kahfi mengusap pipi sang ibunda, berusaha membangunkannya seraya terus memanggil 'uma'.

Lafadz iqomah sudah terdengar. Kahfi terlambat ke masjid dan tidak bisa meninggalkan sang ibunda sendirian. Dia menundukkan kepalanya, kening dan kening beradu. Kahfi menumpahkan air mata karena rasa takutnya. Anak itu membuat kemungkinan-kemungkinan terburuknya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar, hanya tangis saja yang mengisi kesunyian ruang. Kahfi hanya takut jika kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah kesalahan.

Berlarut dalam tangis dan ketakutan, kakeknya datang seusai menyelesaikan salat berjamaah. Tidak biasanya Kahfi absen salat berjamaah di masjid meski usianya masih kecil, bahkan belum baligh.

"Assalamualaikum, Kahf, ini kakek, Nak. Ada apa? Siapa yang menangis?" Harist tidak sabar menunggu jawaban. Tangannya berulang kali mengetuk sebagai tindakan reflek yang disebabkan kekhawatiran.

Kahfi membuka pintu dan langsung berhambur ke pelukan kakeknya. "Uma... tidak bangun-bangun, Kek. Uma—"

"Tenang, Sayang." Tangan kekarnya berusaha menenangkan isakan Kahfi yang tidak biasa. Dia membawa cucunya ke dalam gendongan kemudian memasuki rumah.

Shafiyah masih terbalut mukena terkulai dengan wajah pucat, tetapi berseri, seolah sebagian cahaya matahari berkumpul di wajah itu. Harist segera menurunkan cucunya lalu menghampiri Shafiyah. Apakah ini arti ucapan Shafiyah satu bulan yang lalu. Kehendak Tuhan yang sudah mutlak. Harist memeriksa keadaan menantunya, dan benar. Shafiyah, wanita miskin yang mempunyai anak shaleh tutup usia sebelum berusia tiga puluh tahun, sesuai ucapan Rasulullah dalam mimpi itu.

Harist merengkuh cucunya, berusaha bersikap tegar sambil membangun keikhlasan. Dan detik ini, Shafiyah memindahkan tanggung jawab atas Kahfi kepadanya.

Shafiyah adalah wanita suci, wanita mulia, yang menjaga kehormatannya setinggi mungkin. Dunia kehilangan seorang tokoh wanita kuat dan cerdas. Hidung Harist mulai merah, matanya diselimuti cairan bening.

"Kek, Uma kenapa?"

Pria itu menghapus jejak air mata cucunya. Seberapa kehilangannya dia, Harist harus kuat untuk cucu semata wayangnya. "Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Kahf harus menerima, Allah berhak mengambil apa yang menjadi miliknya."

"Secepat ini, Kek?" ucapnya pelan dengan bibir bergetar.

Kepala Kahfi dielus dengan penuh kasih sayang. "Tidak yang tahu kehendak Allah, Nak."

*

Alam berkonspirasi mengadakan upacara penghormatan kematian Shafiyah. Cuaca tidak panas, tidak juga hujan. Udara yang berembus begitu menyejukkan, membawa kedamaian bagi sekitar. Semerbak wewangian yang entah dari mana berkeliling di sekitar sana. Pemakaman seketika menjadi lautan manusia. Padahal, Shafiyah adalah orang tersembunyi yang jarang diketahui orang.

Prosesi upacara pemakaman dilaksanakan dengan khidmat. Kahfi menyertai sepanjang acara itu didampingi sang kakek. Bibirnya terus melafadzkan doa untuk sang ibunda tanpa suara. Dia berusaha membangun sebuah keikhlasan melapas kepergian seorang wanita yang begitu dicintainya.

KAHFIpt.IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang