Bumi yang diinjak seakan amblas. Mertuanya datang membawa sebuah kabar, kabar yang sangat menyakitkan, sukses membuat jiwanya seakan kehilangan pelita. Jika ditelusuri lebih dalam, hidup Kahfi adah tentang perjuangan melewati cobaan berat ketika harus ditinggalkan orang-orang tersayangnya, bertubi-tubi, tiada henti.
Pria yang Kahfi mintai putrinya satu bulan yang lalu merengkuh Kahfi yang tak kuasa menahan tangis. Di mana ini adalah titik terendah Kahfi kehilangan dua orang sekaligus. Perempuan yang dicintainya sekaligus janin yang Kahfi semaikan di rahim perempuan tercintanya.
Tidakkah Tuhan lelah mengujinya terus menerus? Dan selalu memberikan cobaan yang maha berat. Kepahitan seakan enggan menghilang dari hidupnya. Kahfi lelah, Kahfi merasa ini adalah titik terlemahnya dalam hidup.
"Sabar...." Pria itu menngelus-ngelus punggung menantunya, berusaha menguatkan Kahfi lewat tangannya.
Sekuat-kuatnya Kahfi tetaplah masih manusia biasa, yang sangat bersedih dan terluka ketika menerima cobaan seberat ini.
"Sabar yang seperti apa, Yah? Saya salah apa? Saya lelah...."
"Yang harus kamu tanamkan dalam hati, bahwa dunia adalah negeri ujian dan cobaan. Ikhlaskan, Nak...."
Dan pada nyatanya mengikhlaskan tidak semudah itu. Kahfi semakin terisak di pelukan mertuanya. Hatinya menganga hebat. Ini terlalu berat untuk diikhlaskan. Namun, Kahfi tidak mempunyai pilihan. Sesulit inikah menerima cobaan?
"Sulit, Yah... semuanya... sakit tak terjabarkan."
"Jangan tanya lagi. Jangan tanya lagi seberapa sakitnya. Ayah pun sama halnya dengan kamu, lebih dari itu."
Pria itu berusaha mendudukkan menantunya, memijat pelan bahu pemuda itu. Kahfi mengangkat kedua tangannya, mengadukan kesakitan maha hebat lewat untaian doa. Tidakkah Tuhannya lelah terus mengukum Kahfi seperti ini? Perpisahan kali ini bahkan amat menyakitkan, tanpa pertemuan sebelumnya dan tanpa kata-kata perpisahan.
"Ya Allah, Sayang...." Kahfi menunduk, menekan kedua matanya, berusaha mengambil oksigen meski sulit.
"Allah sangat menyayangi Chika, Nak. Sangat sayang sekali." Pria itu berusaha menguatkan menantunya. Sungguh berat cobaan pemuda semuda Kahfi. Difitnah keji, ditinggalkan anak-istri, dan kini hidup sendirian lagi.
"Tapi sakit, Yah... saya lelah membangun benteng lagi setelah seseorang pergi. Apakah ada cinta yang tidak menyakitkan? Apakah dunia ini dikhususkan untuk tempat tangisan?" Kahfi terus mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan sebagai luapan emosinya tanpa memberi jeda untuk pria itu menjawab. Inilah pertama kalinya Kahfi berteriak bahkan mengguncang kedua bahu mertuanya. Sampai seorang polisi datang untuk membawa Kahfi ke balik jeruji.
Sorot keputusasaan di mata pemuda itu benar nyata, seakan kehilangan harapan untuk hidup. Kahfi duduk sendiri, di pojok, tidak memakai alas, memeluk lipatan kakinya. Hidupnya terguncang, tangis tidak mampu mengobati hatinya yang terluka.
Kahfi lagi-lagi dihadapkan dengan kesendirian.
"Ada masalah apa, ha?!" Suara yang terdengar kejam dari seorang pria berwajah sangar sama sekali tidak Kahfi pedulikan. "Payah kau, Muslim!" umpatnya lagi seraya mencengkram bahu Kahfi dengan sangat kuat.
Kahfi seakan tidak merasa apa-apa, fisiknya seakan ikut mati bersamaan dengan jiwanya yang sebagian dibawa Chika.
"Dengan menangis masalah lu akan selesai?" Lagi-lagi pria itu berujar dengan nada yang dingin dan menyeramkan. "Nggak akan! Lu bodoh!" sentaknya seraya menguatkan lagi cengkramannya membuat Kahfi merintih tak tertahan. "Berdiri!" titahnya lalu menampar pipi Kahfi dengan kasar.

KAMU SEDANG MEMBACA
KAHFIpt.II
Espiritual[Part 2 novel Kahfi] "Sayang, meskipun Islam tidak lagi menjadi penguasa di dunia, tetapi ajaran-ajaran Islam yang dibawa Rasulullah telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Dan hal itu merupakan mutiara bagi peradaban dunia. Kahf harus tahu, sekal...