Untuk Islam dan Indonesia

10 5 0
                                    

            Berkat kecerdasan serta kedisiplinan, Kahfi membawa kakinya menginjak di Kuliyya Dakwah Islamiyyah Libya. Di sanalah pemuda Indonesia mantan narapidana itu belajar intensif berbagai disiplin ilmu baik terkait dengan Al Quran, hadist, fiqh, tarikh, ushul fiqh, dan lughah. Kahfi memompa diri untuk aktif dalam berbagai misi dakwah, bahkan dia sampai mengikuti dialog internasional bersama para pakar lintas agama, mengisi berbagai seminar, termasuk mengisi acara tsaqafah Islamiyyah di TV Libya.

Sibuknya menuntut ilmu sedikit melupakan tentang kehilangan-kehilangan orang tercintanya di masa lalu. Bahkan, terkadang Kahfi terlalu memforsir diri untuk belajar. Sampai suatu hari pernah muntah darah karena belajar dan bekerja di bawah tekanan. Namun, Kahfi senang dengan kegiatan seperti itu. Rasanya seperti terbebas dari sebuah problema masa lalu yang terus membayangi.

"Kau baik-baik saja, Nak?" tanya seseorang yang jauh di sana, nada suaranya terdengar khawatir.

"Baik, Paman. Jangan khawatir."

"Tapi suaramu membuat paman ragu."

"InsyaAllah saya baik-baik saja. Saya sedang di perjalanan bertemu guru, Paman. Paman harus tahu ini, guru yang saya kejar-kejar alhamdulillah mau menerima murid bodoh seperti saya. Ini adalah hari pertama saya belajar tafsir dengan Syaikh ar-Biyatun Basyr."

"Alhamdulillah, Kahfi. Jadilah murid yang taat."

"Iya, Paman. Sudah dulu, ya. Saya sudah mau sampai."

Seusai sambungan komunikasi terputus, Kahfi memasukkan ponselnya ke balik saku jas. Kahfi sudah bertekad dalam hatinya, dia akan mengarungi ilmu sebanyak-banyaknya kemudian kembali ke negaranya dan menyebarkan ilmu yang didapat untuk Islam dan Indonesia.

Bukan hanya ilmu yang Kahfi dapat di sana. Tuhan amat menyayangi pemuda mulia atas kesabaran dan keikhlasannya menerima sebuah takdir. Kahfi diperkenalkan dengan seorang putri dari guru ngajinya seusai belajar ilmu lughah.

Dia yang sangat tertutup, hanya kedua matanya yang dapat Kahfi lihat. Dia sangat santun, terlihat dari gaya berjalan dan menghormati gurunya serta seorang tamu. Bibir Kahfi sampai terbuka sedikit disertai debaran cukup hebat yang terjadi di dalam dadanya.

Dan sejak pertemuan itu, Kahfi tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Bukan seperti demam saat kuliah dulu, tetapi ada rasa ingin terus memperbaiki diri hingga memicu semangat belajarnya di Libya. Perempuan dengan jilbab yang menutup seluruh tubuhnya selalu ada di sudut ruang otaknya, tidak pernah terlepas. Bahkan, di alam bawah sadar pun Kahfi dapat membayangkannya.

"Kau masih muda, Nak. Apakah tidak ada keinginan untuk menikah lagi?" Syaikh Gifrani Jaudatun Akbar bertanya dengan sangat lembut, tetapi berefek besar kepada pemuda Indonesia itu.

Pikiran Kahfi seakan terlempar ke masa lalu, di mana bertemunya seorang Kahfi dengan Chika dalam satu titik. Wajah cantik Chika, keanggunannya, rasa malunya, sifat cemburunya. Perihal pernikahan ternyata cukup mengoyak hatinya lagi. Bahkan Kahfi nyaris menangis mengingat sang istri harus menjalani kehamilannya di saat Kahfi terkurung di penjara.

"Bagaimana dengan putri saya? Apakah kau tertarik?"

Deg.

Memang pantang bagi seorang murid menolak perintah guru. Namun, rasanya tidak adil bagi Chika.

"Aku percaya denganmu, Indonesi."

Kahfi menatap Syaikh Gifrani Jaudatun Akbar dengan malu-malu, matanya seakan menyorotkan tidak percaya. Apakah gurunya yang mulia itu benar-benar yakin meminta seorang pemuda tidak tahu diri sepertinya menjadi menantu? Tidakkah ini salah? Kahfi hanya seorang pemuda biasa yang merasa tidak punya apa-apa jika disandingkan dengan perempuan sesopan putri gurunya.

KAHFIpt.IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang