Kahfi memasuki wilayah kampus bersama kedua temannya. Dan semua itu terjadi dalam rentang sepersekian detik. Kahfi langsung terjatuh disertai erangan kesakitan hingga wajahnya tersungkur ke paving block. Orang-orang langsung mengerubungi. Belakang kepala Kahfi mulai mengeluarkan cairan merah yang tampak segar.
"Woi!" Rijal langsung bergerak cepat menyusul seorang pelaku yang melemparkan batu ke punggung dan kepala Kahfi. Seorang atlet bela diri sungguh cekatan mengejar pemuda yang memakai hoodie lengkap dengan maskernya. Tak jauh dari gerbang kampus, Rijal langsung menendang punggung pemuda berhoodie hingga tersungkur. "Apa maksud lo, ha?!" Serangan membabi buta langsung didapatkan pemuda itu hingga sudut bibirnya mengeluarkan darah.
Mahasiswa yang berlalu lalang langsung berhenti, menonton pertarungan antar dua orang tanpa ada yang melerai. Kahfi berlajan tertatih-tatih sambil memegangi kepalanya yang luka. Bermaksud untuk menghentikan tindakan Rijal yang sudah di luar batas.
"Jal... tenang...." Kahfi memeluk temannya itu dari belakang, tangan kanannya menghentikan tangan Rijal yang sudah melayang di udara. "Saya baik-baik saja...," ujarnya dengan suara lemah dan sedikit terbata-bata.
Napas Rijal masih memburu, matanya menatap tajam pemuda bermasker yang kini dipegang oleh beberapa mahasiswa.
"Jangan... sakiti...." Suara Kahfi terhenti, matanya perlahan menutup, kesadarannya hilang detik itu juga.
Rijal langsung berbalik untuk menahan gerakan Kahfi yang akan jatuh. "Kahf...," panggilnya dengan nada khawatir melihat wajah Kahfi yang sudah pucat. Darah dari kepalanya pun terus mengalir. "Kahf!"
"Jal, angkat ke mobil gue," kata Zaki dan langsung diangguki oleh Rijal.
Mereka bergerak cepat menuju rumah sakit terdekat. Pelaku yang melempar batu ke kepala dan punggung Kahfi sedang diurusi mahasiswa lainnya. Sebagai seorang sahabat yang dekat dengan Kahfi, Rijal dan Zaki tidak mampu menahan air matanya lagi. Kahfi adalah sosok pemuda yang menyenangkan, membanggakan, menenangkan. Ketika melihat Kahfi lemah tak berdaya seperti itu, ada rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh hingga membuat dada mereka sesak.
Kahfi segera dilarikan ke IGD. Dua orang itu harap-harap cemas di lorong rumah sakit, memanjatkan doa sembari mondar-mandir.
Duka atas Kahfi bukan hanya dirasakan oleh Rijal dan Zaki. Bumi pun ikut menangis atas musibah ini, seolah turut berduka. Rijal memandangi rintik demi rintik air yang turun dari langit di balik kaca besar ujung lorong. Matanya menyorotkan kesedihan mendalam. Ingatannya kembali ke masa dia melihat seorang pelaku yang melukai Kahfi, dia mengejar orang itu, kemudian menghajarnya habis-habisan.
Dan dengan segala kesucian hati seorang Muhammad Kahfi Alfath, Kahfi menahan gerakan Rijal yang hendak memukul lagi. Di tengah Kahfi yang pasti merasakan sakit begitu dalam, pemuda itu memohon untuk jangan menyakiti pelaku yang membuatnya sakit.
"Udah duhur, ayo," ajak Zaki seraya menepuk pundak Rijal.
Rijal semakin mengagumi Kahfi yang begitu baik. Hatinya yang penuh kebaikan akan selalu menjadi idola bagi Rijal.
"Gue juga sedih, tapi jangan sampai melupakan kewajiban," ujar Zaki lagi.
Zaki ada benarnya. Pemuda berkaus hitam itu mulai luluh. Kahfi adalah orang yang taat dan tidak suka orang yang lalai dengan salatnya.
"Thank's, Zak."
*
"Tidak mau mengaku. Dia bilang hanya iseng."
KAMU SEDANG MEMBACA
KAHFIpt.II
Spiritual[Part 2 novel Kahfi] "Sayang, meskipun Islam tidak lagi menjadi penguasa di dunia, tetapi ajaran-ajaran Islam yang dibawa Rasulullah telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Dan hal itu merupakan mutiara bagi peradaban dunia. Kahf harus tahu, sekal...