Berbeda

29 8 0
                                    

Karakteristik masyarakat desa dan kota begitu berbeda akibat perbedaan signifikan terkait cara hidup sehari-hari dan sistem sosialnya. Kahfi cukup terkejut dengan perbedaan yang jauh dalam kehidupan keagamaan. Masyarakat desa cenderung mengarah ke kehidupan agamis dan religius. Berbeda halnya dengan di kota, dalam satu lingkungan tidak ber-Tuhan yang sama, bahkan banyak dari mereka lebih mengarah ke kehidupan duniawi.

Dia cermat meneliti. Semua indra diaktifkan untuk mendapatkan informasi akurat.

Matanya jeli terhadap aktivitas yang dilakukan orang kota. Mereka tampak asing dengan satu sama lain, individu tidak terlalu bergantung pada orang lain.

Harist akui jika pengamatan cucunya tidak bersifat biasa. Terkadang dia kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaan Kahfi. Namun, sejauh ini, Harist cukup senang melihat Kahfi aktif dan menggali banyak hal.

"Kalau mereka tidak mengaji di masjid, apa mungkin orang kota tahu Islam dan bisa baca Quran?"

Harist menanggapi hal itu dengan seulas senyum. "Pendidikan di kota lebih maju daripada di desa, lebih baik dan terarah. Orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah yang berbasis Islam. Ada juga yang mengundang guru agama langsung ke rumahnya. Para pemuda muslim kreatif membentuk suatu komunitas dengan cover modern untuk menyebarkan nilai-nilai Islam."

"Orang kota lebih hebat dari orang desa ya, Kek?"

"Tidak, Nak. Kita sama. Di mana pun kita tinggal, pasti ada kekurangan dan kelebihannya."

Kahfi memandang gedung yang tampak nyaris menyentuh langit. Kuasa Tuhan dengan segala ke-Maha Hebatan-Nya. Betapa indah dunia ini. Namun, faktanya dunia ini tidak lebih dari sebatas fatamorgana. Kehidupan tidak ada yang abadi, kesenangannya terlalu semu.

Firman Allah, surat Hadid ayat 57 terlintas di kepala anak itu. Langkahnya langsung terhenti, tangannya meraih lengan sang kakek dari belakang. "Kakek, apa gedung itu adalah bagian dari permainan dunia dan sesuatu yang melalaikan?"

Pria itu menuntun cucunya, mengajaknya kembali melanjutkan perjalanan. "Ya, itu adalah salah satu dari permainan dunia. Namun, tergantung cara kita menghadapi permainan itu. Apakah sesuatu itu menambah keimanan kita atau justru melalaikan."

Mereka menelusuri trotoar. Kahfi memahami banyak hal di lingkungan kota, salah satunya tatanan lingkungan yang dibuat tangan manusia. Desa indah akan eksotis alamnya, kota indah akan sesuatu kreativitas manusianya.

"Satu hal yang harus Kahf tahu. Kita tidak akan mencapai kebahagiaan kecuali menjadikan dunia jalan menuju akhirat. Karena kenikmatan abadi ada di sana, sesuatu yang belum terlihat mata, belum terdengar telinga, dan belum terlintas di hati manusia."

Kalimatnya sederhana, tetapi Kahfi menangkap sesuatu besar di sana. Harist seakan menyampaikan pesan jangan sampai kita tertipu oleh dunia. Karena bagaimanapun kita ada di dunia ini atas kehendak sang Pencipta, maka kita pun akan berpulang atas kehendak-Nya.

*

Teknologi berkembang pesat di perkotaan. Semuanya tampak transparan dalam sekali akses. Dunia seakan tergenggam tangan. Apakah ini yang dinamakan akhir zaman?

Kahfi termenung memikirkan insan Tuhan lalu lalang tak lepas dari komputer mini yang praktis dibawa ke mana-mana. Manusia di sana seakan tidak bisa lepas dari benda bernama ponsel cerdas. Dari hotel lantai enam belas, tempat penginapannya selama di kota, Kahfi mengamati kegilaan teknologi yang memperdaya.

Manusia lebih meramaikan dunia virtual daripada kehidupan nyatanya. Dunia seakan menjadi sangat menyeramkan. Ketika jalan-jalan di sekitaran lobi, Kahfi sering menemukan orang yang berjalan sambil main ponsel. Pernah suatu hari, Kahfi diajak kakeknya untuk makan di luar hotel. Matanya menangkap dua orang yang berhadapan, tanpa tersekat apa pun, keduanya sibuk memainkan ponsel, seakan jarak mereka yang lima puluh senti terhalang pembatas besar.

KAHFIpt.IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang