Lingkungan baru, problema baru.
"Kiai bilang poligami itu nggak baik, kiai juga bilang poligami itu boleh, kiai lagi yang selalu koar-koar membicarakan tentang poligami, parahnya lagi banyak Kiai yang berpoligami. Benar-benar udah akhir zaman ya, Bu."
"Ulama yang kemarin meninggal pun katanya punya istri tiga."
"Astagfirullah, harusnya ulama itu mencontoh yang benar. Nggak cukup apa satu istri saja."
Hati Kahfi sakit, seperti terhimpit dan ditusuk besi panas.
Bukan saatnya untuk kamu bicara, katanya pada diri sendiri. Kahfi berlalu meninggalkan ibu-ibu yang sedang berkumpul sehabis belanja. Dia memasuki kontrakan sederhana yang catnya mulai pudar.
Ya Rabbana... Ya Rabbana... astagfirullahal adzim.
Kahfi segera melaksanakan salat dua rakaat kemudian memohonkan ampun untuk tetangganya, umumnya untuk muslimin muslimat. Allah telah mencabut ilmu-ilmu di muka bumi ini secara perlahan, lentera-lentera harapan mulai tenggelam, dunia kehilangan pelita sedang umat masih membutuhkan pelita itu untuk menerangi jalan menuju kebahagiaan yang abadi.
Dan kini Kahfi menemukan alasan kenapa ibunya memerintahkan untuk merantau ke bagian selatan tanah Sunda. Masyarakat di sini masih banyak yang skeptis dengan Islam, menganggap bahwa ajaran Islam banyak yang salah. Kahfi tidak akan menyalahkan mereka atas itu. Mungkin pengetahuan mereka tentang Islam masih minim. Maka dari itu, di sinilah tugas Kahfi untuk memberi penerangan kepada mereka.
Setelah berjam-jam berdoa dan menenangkan hatinya, Kahfi segera bersiap untuk berjamaah duhur.
Di sini sepi, masjid jarang terawat, orang-orang sulit diajak berjamaah. Terkadang Kahfi takut untuk berbaur, sebagaimana air jernih akan kalah jika disatukan dengan air keruh. Namun, Kahfi harus bertahan di sini. Kahfi harus bagaikan ikan di laut, yang tidak asin meski hidupnya di air asin.
Kali ini pun yang datang ke masjid hanya tujuh orang, tidak ada pemuda kecuali Kahfi. Pemuda sebagai agen perubahan tidak berperan. Pemuda sebagai tonggak agama dan bangsa tidak menunaikan kewajibannya. Ke mana mereka? Apakah mereka tidak punya pemikiran tentang masa depannya?
Kahfi tersentak ketika seorang pria yang rambutnya sudah beruban mendorongnya ke tempat imam. Bukan apa-apa, Kahfi hanya ingin menghormati yang tua dahulu untuk dijadikan imam.
"Kau sudah pantas, anak muda."
Pantang bagi Kahfi untuk menolak dalam kebaikan. Apalagi saat ini posisinya sudah berdiri di tempat imam. Untuk pertama kalinya dia menjadi imam di Kampung Ciliuk.
Sepertinya Kahfi harus membaca data psikologis masyarakat Ciliuk sebelum berdakwah. Konsep yang matang, kata-kata yang tepat, tujuan yang jelas semoga dapat membawa perubahan bagi masyarakat. Tekadnya sudah bulat, Kahfi akan mengabdikan diri untuk membawa perubahan di Ciliuk.
Dia berkutat dengan konsep-konsep, bertanya banyak kepada para ulama, dan tak lupa meminta petunjuk kepada Yang Maha Kuasa.
Kahfi mulai eksekusi, bermula dari mendidik anak-anak untuk memberinya pondasi. Permulaan yang baik. Mereka adalah cikal dari kemjuan agama dan negara. Semangat Kahfi membara untuk mendidik mereka, akan Kahfi jadikan mereka sebagai generasi unggul yang akan memperbaiki peradaban dunia, akan Kahfi buktikan jika lemahnya sistem pendidikan di kampung tidak berpengaruh untuk manusia yang punya kualitas.
"Very good my son." Kahfi tersenyum seraya mengelus lembut puncak kepala anak bergigi ompong itu. "Besok semangat lagi mengajinya, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KAHFIpt.II
Spiritual[Part 2 novel Kahfi] "Sayang, meskipun Islam tidak lagi menjadi penguasa di dunia, tetapi ajaran-ajaran Islam yang dibawa Rasulullah telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Dan hal itu merupakan mutiara bagi peradaban dunia. Kahf harus tahu, sekal...