Versi Lebih Baik

10 6 0
                                    

            "Sudah berapa lama kamu mengajar di sini?" tanya Kahfi sambil memainkan kedua tangannya secara abstrak, pertanda ada kegugupan saat berdiri tak jauh dari Chika.

"Dua minggu. Saya ditugaskan untuk mengajar di SD Pamila."

"Saya tahu dari Zaki jika kamu orangnya cerdas. Bagaimana bisa mau ditugaskan di daerah pelosok?"

"Karena ini cita-cita saya. Mengajar anak-anak di kampung untuk menjadikan mereka murid unggul yang mampu mengalahkan anak-anak kota dalam bidang akademik maupun non akademik."

Jawaban itu membuat dada Kahfi semakin berdesir. Berulang kali Kahfi mencoba menormalkan napasnya, tetapi tidak bisa. Reaksi tubuhnya saat di dekat Chika sungguh di luar nalar. Inikah rasa cinta yang lumrah untuk ukuran cinta kepada yang bukan mahram?

"Mulia sekali. Break a leg." Kahfi tersenyum malu-malu untuk menutupi getaran hebat di balik dadanya. Sesak dan ... Kahfi tidak tahu harus menjabarkannya dengan kata apa. Perasaannya benar-benar campur aduk. "Saya harus segera pamit, assalamualaikum."

Tidak ada ungkapan cinta. Tidak ada pertemuan yang disengaja. Tidak ada obrolan basa-basi mengenai perasaan. Setelah berkutat memohon petunjuk dengan jalan istikhoroh, Kahfi menemukan jawaban yang sangat yakin di istikhoroh ke-40. Dialah yang Kahfi mau, dialah yang ingin Kahfi jadikan teman hidup, teman yang menemaninya berjuang menuju tempat kebahagia, di sisi Tuhan.

Setelah sebuah perpisahan tak terduga beberapa tahun yang lalu di Makassar, kini Tuhan menggariskan titik pertemuannya dengan perempuan bermata kecil yang sungguh indah lagi di tanah Sunda.

Seberapa jauh dua insan yang berlainan jenis, jika sudah berjodoh, tiada yang dapat menahannya.

Lewat sebuah surat sederhana yang Kahfi titipkan kepada seorang guru yang mengajar di SD Pamila, Kahfi sungguh-sungguh meminta izin untuk menemui kedua orang tua Chika.

Kemudian Chika membalasnya dengan kalimat sederhana. Aku punya masa lalu yang begitu kelam. Aku harap kamu siap menerima aku apa adanya dan kamu tidak salah mengambil keputusan.

Kahfi membalas surat itu lagi, memberi tahu Chika jika dia siap dengan segala risiko. Kahfi sudah yakin dengan hatinya, Chikalah obat dari penyakit yang selama ini dideritanya selama bertahun-tahun.

Lalu Chika membalasnya lagi. Ayahku sedang bertugas di Bandung. Ayah tinggal di apartemen Anugerah lantai 20 kamar nomor 508.

Dengan segenap hati dan keyakinannya, Kahfi berangkat pagi hari menuju Bandung. Ayah Chika adalah pria berwibawa, ramah, dan bersahaja. Kahfi disambutnya dengan baik, diberikan jamuan terbaik, dan diajak berbincang ringan tetapi berkualitas sebelum bicara serius.

"Kau adalah pria yang dimaksud putri saya?"

Kahfi mengangguk sopan. "Iya, Pak."

"Apa alasan dan tujuan kamu memilih putri saya di antara banyaknya perempuan di dunia ini?"

"Saya pernah sakit, bertahun-tahun lamanya. Sebab dan obat dari penyakit saya adalah sesuatu yang sama, yaitu Chika, putri bapak. Saya sakit sejak Chika memutuskan pergi dari Makassar kemudian saya sembuh dua bulan yang lalu, tepat ketika saya bertemu Chika di Kampung Ciliuk."

"Apa alasan dan tujuan mendasar memilih putri saya?" Tampaknya ayah Chika belum puas dengan jawaban Kahfi sebelumnya.

"Karena cita-citanya, Pak. Cita-cita yang selaras dengan impian-impian saya. Saya ingin bersama Chika untuk memperbaiki peradaban, mengajak banyak orang berperan di dunia ini, khususnya Indonesia."

KAHFIpt.IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang