Pilar untuk Agama dan Bangsa

15 5 0
                                    

            Kahfi memasuki sekolah dasar di usianya yang sudah sembilan tahun. Kahfi menolak untuk belajar dari tingkat 1. Keinginannya bisa satu kelas bersama Bombom, anak gendut yang menurut Kahfi menarik.

Kahfi tidak mempunyai riwayat pendidikan sebelumnya, tidak mungkin pihak sekolah langsung memasukkan Kahfi ke tingkat 5.

Akhirnya Harist mengeluarkan tiruan bunyi seperti batuk kecil. "Jika Ibu berkenan, tolong ikuti keinginannya. Jika nanti cucu saya belum bisa mengikuti pelajaran seperti teman-temannya, biarkan itu menjadi tanggung jawab saya nantinya."

Pada awalnya, pihak sekolah tetap pada pendiriannya, tidak menerima Kahfi jika ingin langsung berada di tingkat 5. Namun, kesungguh-sungguhan Harist meminta akhirnya membuat luluh. Kahfi diberi seragam sekolah dan besok adalah hari pertama anak itu bersekolah.

Ada senyum harapan yang Kahfi pamerkan kepada dunia. Dia berjanji akan terus menyinari bumi ini dengan ilmu. Ada dan tidak adanya sang ibunda di sisinya tidak akan berpengaruh. Karena Kahfi sudah menghidupkan jiwa ibunya di dalam hati, yang mana ibunya akan selalu menemani di setiap perjuangan Kahfi, selamanya.

Shafiyah tidak hanya mengajarkan ilmu agama, Shafiyah juga mengajarkan pengetahuan umum lainnya. Dunia harus kita genggam, akhirat tanamkan dalam hati. Shafiyah juga memahamkan Kahfi akan satu hal, bahwa dunia penuh dengan keindahan dan kenikmatan yang mendustai.

"Kahf sudah yakin mau sekolah di sini? Tidak mau masuk ke pesantren?"

Anak itu menggeleng. Untuk saat ini belum ada keinginan menuntut ilmu di pesantren. "Suatu hari nanti, Kek. Kahf ingin di sini dulu."

"Baiklah. Kamu berhak menentukan apa pun. Tugas kakek hanya membimbing Kahf saja."

Kahfi cukup senang dengan ungkapan kakeknya. Akan ada suatu hari Kahfi akan belajar di pesantren. Namun, bukan sekarang. Hatinya merasa bahwa tugas Kahfi di sini belum selesai.

*

Hari pertama sekolahnya cukup menyenangkan bagi Kahfi. Guru dan teman satu kelas menyambutnya dengan ramah. Tidak ada yang menyangka jika Kahfi belum pernah mengenyam pendidikan formal sebelumnya. Kahfi sangat aktif dan langsung berbaur dengan pelajaran maupun aktivitas lainnya.

Meski baru hari pertama, tetapi dia bisa merasakan ada hal yang berbeda di kelas itu. Tentang Bombom. Anak gempal itu cenderung pendiam, tidak aktif di kelas, kerjaannya hanya mencoret-coret buku. Ketika waktunya pulang sekolah, Kahfi menghampiri anak itu.

"Kahf...," kata Bombom dengan suara menyiratkan ketakutan ketika dihampiri.

"Mau pulang bersama?" ajak Kahfi.

Bombom menggelengkan kepala, tangannya segera membereskan buku ke dalam tas, lalu beranjak keluar dari kelas. Bombom yang Kahfi kenal hari itu dan hari ini sangat berbeda. Kontras.

Rasa penasaran Kahfi akhirnya terjawab tepat setelah satu minggu bersekolah di sana. Bombom dibedakan atas dasar fisik dan intelektualnya yang rendah sehingga menjadi korban bullying. Kahfi tidak habis pikir dengan lingkungan sekolah seperti itu. Sekolah merupakan sarana pendidikan yang dibebani tugas untuk mendidik, mengajar, memperbaiki, serta memperhalus tingkah laku. Namun, kenapa sikap muridnya tidak mencerminkan bahwa dia adalah anak berpendidikan.

Kahfi sungguh tidak menerima perlakuan tersebut. Semua anak punya hak sama sebagai manusia dan manusia tidak boleh memberi batasan kepada sesama manusia.

Sekarang Kahfi mengerti kenapa hatinya ingin sekolah di sana. Ini sudah saatnya Kahfi terjun membawa sebuah tugas untuk perubahan.

"Ayo, jangan takut," bisiknya seraya mengacungkan tangan kanan Bombom.

KAHFIpt.IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang