Keluarga Bombom

7 7 0
                                    

            "Apa?!" Napas Kahfi seketika menggebu, air matanya langsung memenuhi kelopak, kepalanya digelengkan berulang kali. "Terus kamu bagaimana, Bom? Tentang pilihan kamu."

Anak gempal itu menunduk seraya terisak.

Kahfi langsung berulut di hadapan temannya yang sedang duduk di kursi taman. "Tolong jangan, Bom. Islam itu adalah kebenaran di atas hal paling benar. Kahf mohon, Bom. Kahf ingin bersama kamu tidak hanya di dunia saja." Bahunya bergetar ketika mencium-cium punggung tangan Bombom. Ini adalah hal paling menyakitkan daripada kepergian sang ibunda dan kakeknya.

"Ayah aku pindah, Kahf. Aku juga harus."

Kenyataan ini sangat berat. Otak Kahfi langsung kosong dihadapkan dengan kenyataan ini. "Ingat Tuhan, ingat Allah. Ahadun Ahad, Ahad, Ahad! Bom...." Kahfi menumpahkan air matanya di pangkuan temannya. Hatinya sakit.

"Kahf, aku tidak bisa membantah. Ayah aku mau menikah dengan orang Hindu. Kami tidak mungkin hidup dalam satu atap dengan dua keyakinan."

Uma..., Kahf harus bagaimana?

"Kita akan tetap berteman. Percayalah sama aku Kahf."

Kahfi menggeleng tegas, memohon dengan sangat. "Bom... jangan...," ujar Kahfi dengan suara lemah.

"Kita akan beda. Namun, kita masih disatukan oleh Bhineka. Ini hidup aku, Kahf. Tolong mengerti, ya?"

Oh Allah! Kembalikan iman ke dalam hati teman Kahf, jeritnya dalam hati. Kahfi menangis sampai kepalanya sedikit pusing. Dia harus apa? Andai di sini masih ada ibunya, Kahfi tidak mungkin kebingungan seperti sekarang.

"Katanya kamu mau ikut Kahf masuk pesantren. Kenapa sekarang seperti ini, Bom?" Suara Kahfi benar-benar lemah. Pernyataan Bombom yang mengikrarkan pindah agama membuat hatinya seakan dihantam benda keras. Tidak akan ada lagi kata saudara seiman, mereka hanya bersatu diikatkan oleh Bhineka.

"Maaf ya, Kahf. Aku juga tidak tahu akan seperti ini. Ayah yang menyuruh aku."

Kahfi menggigit bibir bawahnya seraya bangkit. Kepalanya digelengkan ketika mata mereka bertemu di titik yang sama.

"Ayah aku mau bertemu sama Kahf. Mau, ya? Ayah mau mengucapkan terima kasih karena Kahf sudah membuat aku lebih baik."

Sekecewa apa pun, Kahfi sulit untuk menolak. Tali silaturahmi harus tetap baik-baik saja. Siapa tahu suatu hari nanti, Bombom dan keluarga barunya mendapat hidayah dan meninggal dalam keadaan muslim. Kita tidak tahu satu hari kemudian, satu bulan kemudian, atau satu tahun kemudian.

Kahfi mengangguk lesu lalu duduk di samping Bombom. Dia memerlukan waktu untuk menghilangkan sesak dalam dada dan menghapus air matanya.

"Aku minta maaf, Kahf. Jangan benci sama aku, ya."

"Tidak. Semoga kebaikan tetap selalu menyertai kamu di mana pun dan kapan pun," doanya seraya memeluk sang sahabat. Perpisahan antar saudara seiman lebih menyakitkan daripada perpisahan antar alam. Namun, Kahfi tidak punya daya apa-apa selain berdoa.

"Setelah pernikahan berlangsung, aku akan tinggal di Bali. Kahf, aku harap kamu tidak akan melupakan aku."

"Tidak akan. Kahf tidak akan peduli apa pun agama kamu. Kahf hanya menginginkan kamu untuk tetap menjadi manusia sebaik-baiknya, sebarkan kemanfaatan untuk banyak orang." Hanya itu yang mampu Kahfi ungkapkan di tengah kehancuran hatinya mendengar pernyataan Bombom.

KAHFIpt.IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang