Sebuah butir cahaya yang turun dari angkasa, menembus lapis-lapis langit, terdampar di ujung bumi, melintasi jarak ribuan kilometer, menerjang jurang, lembah, dan samudra hingga kini terdampar di Ammar Arfan.
Anak yang santun, sangat santun, dan paling santun. Anak muda yang beridealis. Semangat juang menimba ilmunya berkobar-kobar. Agama membutuhkannya, negara membutuhkannya, dan alam membutuhkannya. Iya, anak itu, Muhammad Kahfi Alfath.
"Ceritakanlah tentang ibumu," titah Kiai Gufran sambil tersenyum damai ingin mengenal Kahfi lebih dalam.
"Maaf, Kiai. Semua tentang uma tidak mampu Kahf ceritakan. Tidak ada kata yang sempurna untuk menggambarkan kasih sayang, perjuangan, dan pengorbanan uma."
Suara Kahfi yang halus dan getir bagaikan sebening-beningnya air. Tulus dan penuh cinta. Dari kalimat terakhir jawaban Kahfi sudah dapat disimpulkan jika di balik Kahfi yang cakap ilmu agama dan cerdas ilmu pengetahuan ada sesosok ibu yang menopangnya. Pria berjubah putih mengangguk, memaklumi Kahfi yang tidak mampu menjawab pertanyaan.
Setetes air bening meluncur bebas di pipi Kahfi. Memori tentang ibunya tayang bagaikan slide demi slide di balik tempurung kepala. Tidak ada rekam jejak kebersamaan Kahfi dan ibunya untuk ditunjukkan kepada dunia. Namun, Kahfi masih mengingat kebersamaan setiap detiknya. Bagaimana cara ibunya menyayangi, mengasihi, mendidik, dan merawatnya.
Tidak ada suara selain isakan di ruangan itu. Kiai Gufran membiarkan Kahfi menumpahkan semuanya. Siapa tahu cairan dari air mata itu meringankan beban anak sekecil Kahfi.
Mereka berdiam diri sedikit lama. Usai tangisan Kahfi reda, Kiai Gufran memberikan sorban yang mengalung di lehernya. "Hapuslah air matamu."
"Apakah tangan Kahf yang kotor ini pantas menyentuh pakaian suci Kiai?"
Pria itu tercengang mendengar penuturan itu. Apakah benar orang yang di hadapannya seorang anak kecil yang bahkan belum tentu sudah baligh atau belum? "Kahfi... Kahfi... terimalah. Kau pantas menerimanya."
Pantang bagi santri untuk menolak perintah sang pengasuh pondok. Tangan Kahfi terulur gemetar saat menerimanya. Ini adalah sebuah penghormatan besar.
"Ibumu sungguh luar biasa. Allahu Yarhamuhu. Allah sudah menyiapkan tempat terbaik untuknya, insyaAllah."
"Syukron, Kiai."
"Telah datang kepadaku seseorang yang mengatakan akan datang seorang anak yang cakap dengan ilmu tauhid, fiqh, tasawuf. Padahal, ia belum dihisab. Apakah kau orangnya?"
Kahfi melongo tidak percaya. Matanya menatap pengasuh pondok sedikit lebih lama dari sebelumnya. "Tidak, Kiai... Kahf jauh dari kata pantas untuk dikatakan seperti itu."
"Kau orangnya, Nak. Saya belum pernah melihat ada seorang anak kecil yang punya idealis sepertimu. Adabmu menunjukkan berapa luas ilmumu yang telah didapat dan akan dipelajari. "
Kahfi terdiam. Benarkah seperti itu? Kahfi tidak merasa mempunyai ilmu setinggi yang dikatakan oleh gurunya.
"Maaf, Kiai. Soal tadi, dari mana Kiai tahu tentang uma yang sudah tidak ada dan kakek yang hilang?" Kahfi merasa janggal dengan akan hal itu. Tiba-tiba Kahfi dipanggil untuk ke ndalem lalu Kiai menceritakan sekilas tentang ibu dan kakeknya.
Pria itu tersenyum kecil melihat kepolosan Kahfi. Anak sepolos itu belum saatnya tahu tentang karomah. "Sebentar lagi akan masuk waktu magrib. Segeralah bersiap untuk menghadap-Nya."
![](https://img.wattpad.com/cover/288824353-288-k613705.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KAHFIpt.II
Espiritual[Part 2 novel Kahfi] "Sayang, meskipun Islam tidak lagi menjadi penguasa di dunia, tetapi ajaran-ajaran Islam yang dibawa Rasulullah telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Dan hal itu merupakan mutiara bagi peradaban dunia. Kahf harus tahu, sekal...