"Mengagumi dalam diam adalah caraku. Karena, bukan tentang kata yang terucap, melainkan hati yang berbicara."
Awal rasa kagum itu muncul saat dirinya mendengar suara itu untuk kedua kalinya. Sebuah rasa yang ia pendam sendiri tanpa memberitahukan pada siapa pun, bahkan kepada sahabatnya, Aisyah.
Ia mengagumi laki-laki itu dari suaranya, karena hanya itulah yang ia tahu. Meski begitu, ia yakin bahwa laki-laki itu bukanlah orang biasa. Ada hal istimewa pada dirinya.
"Masya Allah, merdu sekali suara ini," puji Nesa.
"Aku setuju. Aku serasa terhipnotis olehnya," tambah Aisyah.
"Sumbernya di balik pohon itu." Zahra menunjuk sebuah pohon tanpa melihatnya. Ia masih tersipu dengan senyuman yang ia dapatkan. Nesa dan Aisyah pun menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Zahra.
"Wah! Ganteng banget!" teriak Nesa, histeris. "Aduh!"
Zahra memukul bahu Nesa karena tingkahnya. Namun, karena itu pula, perasaan Zahra mulai terkendali, "Heh, kamu. Melihat laki-laki yang ganteng sedikit, tingkahmu langsung seperti itu."
Nesa hanya cengengesan dan Zahra pun meladeninya. Setelah itu, Nesa bertanya tentang laki-laki yang masih duduk di sebalik pohon di sana. Zahra dan Aisyah pun menjelaskannya secara bergantian. Zahra dan Aisyah juga mengatakan bahwa mereka belum mengenal laki-laki bernama Islam tersebut.
"Oh, begitu. Bagaimana kalau kita kenalan? Mumpung ada orangnya," usul Nesa dengan kepercayaan diri yang tinggi.
"Tidak. Kamu saja sendiri kalau mau," sahut Zahra. Meski sekarang sudah mendingan, tapi ia tak melupakan bagaimana degup jantungnya saat mendapat senyum dari Islam sebelumnya.
"Oke," jawab Nesa. Kemudian, dengan langkah yang yakin dan percaya diri, dia mendekati Islam. Zahra dan Aisyah hanya bisa memperhatikan dari tempatnya sekarang.
Dengan kepercayaan dirinya, Nesa mendatangi laki-laki yang sedang duduk di balik pohon itu.
"Permisi, boleh kenalan?" tanya Nesa.
"Wa'alaikumussalam, ada perlu apa?" Bukannya menjawab pertanyaan Nesa, Islam justru balik bertanya.
"Oh, i–iya, lupa." Kepercayaan diri yang sebelumnya dia perlihatkan, kini runtuh. Nesa justru gelagapan, "As–assalamu'alaikum, boleh kenalan?"
"Wa'alaikumussalam," jawab Islam sekali lagi. Dia sedikit menundukan pandangannya, "Namaku Islam."
"Perkenalkan namaku Nesa."
"Nesa? Ada lagi? Kalau tidak ada, aku tinggal. Karena, tak baik jika kita mengobrol berdua begini. Hal ini akan menimbulkan fitnah," jelas Islam. Dia pun berdiri, tapi tetap menundukkan pandangannya.
"Benar, aku Nesa. Engga ada lagi, cuma ingin kenalan aja," jawab Nesa. Dia sudah mulai tenang, tak gelagapan seperti sebelumnya.
"Kalau begitu aku tinggal. Assalamu'alaikum." Dengan begitu, Islam pun meninggalkan Nesa.
"Wa'alaikumussalam, cuek banget," gerutu Nesa.
Nesa adalah perempuan yang sangat berisik, tak bisa diam, dan tak suka kalau ada orang yang tak memperhatiannya. Dengan sikap dingin yang diberikan Islam kepadanya, sudah cukup untuk membuatnya kesal. Sekarang, dia kembali ke tempat kedua sahabatnya.
"Bagaimana?" tanya Zahra.
"Orang itu ga asik," gerutu Nesa.
"Lah kenapa?" Kali ini Aisyah yang bertanya.
"Dia dingin sekali. Kami kenalan, setelah itu ia pergi. Cuek bangetlah pokoknya," sungut Nesa.
"Loh, kok, bisa?" Aisyah pun ketawa melihat Nesa yang sedang kesal.
"Ehh, malah ketawa? Terus, dia ga lihat aku pas lagi ngomong." Ada penekanan di suara Nesa. Ia pun melampiaskan kekesalannya kepada ranting yang diambil. Ranting itu dipatahkannya hingga menjadi bagian kecil.
"Terus, apa lagi?" tanya Zahra.
Dengan rasa kesal yang masih memuncak, Nesa menceritakan interaksi singkatnya dengan Islam. Dari awal ia berkenalan, Islam yang selalu menundukkan pandangannya, sampai saat Islam pergi dan meninggalkan Nesa begitu saja.
"Masya Allah. Ternyata, dia laki-laki yang benar-benar menjaga dirinya. Selain itu, dia juga menjagamu, Nesa. Dengan menundukkan pandangannya, dia juga ingin menjaga kehormatanmu sebagai perempuan," jelas Zahra. Karena Islam adalah lulusan pesantren, pasti seperti itu yang laki-laki itu pikirkan. "Dia juga meninggalkanmu begitu saja bukan tanpa alasan. Dia hanya tak ingin berduaan dengan yang bukan mahromnya. Karena, hal itu bisa menimbulkan fitnah. Itu juga untuk menjaga dirinya dan dirimu juga."
"Benar apa yang dikatakan Aisyah. Seharusnya kamu berterima kasih padanya. Bukan malah kesal seperti ini," sambung Aisyah. Dia terlihat sedikit menahan tawanya ketika melihat perubahan ekspresi Nesa.
"Iya, Maaf. Aku salah mengartikan sikap dinginnya," ucap Nesa malu.
Tawa Aisyah pun pecah di kala Nesa tertunduk malu. Yang sebelumnya dia bersungut-sungut karena kekesalannya, sekarang seperti tanaman putri malu yang baru saja tersentuh oleh tangan manusia, menciut. Aisyah memegang pundak sahabatnya itu dan berkata, "Seharusnya, kamu meminta maaf kepada Islam, tapi tak apa. Kamu sudah mendapat pencerahan."
Melihat tingkah kedua sahabatnya, Zahra pun menunjukkan senyum di wajahnya. 'Aku tak mengira kalau dia adalah laki-laki seperti itu. Sungguh, aku tak salah dalam mengagumi orang seperti dirinya.'
"Aku jadi kagum padanya," celetuk Aisyah. Zahra pun terkejut dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu.
****
Kekaguman ialah sebuah hal yang lumrah dalam hidup. Cukup mengagumi bukanlah suatu kesalahan. Ia kagum kepada seseorang yang menurutnya lebih dari yang lain, hingga mungkin kagum itu yang akan membawanya ke tempat yang lebih serius. Namun, hal itu adalah sesuatu yang tidak pasti. Bisa terjadi atau pun tidak.
Kagumnya seseorang, belum tentu dapat diungkapkan dengan lisan. Terkadang, rasa kagum itu hanya ia pendam dalam hati. Dan melihat orang yang ia kagumi sudah cukup untuk membuat hatinya merasa bahagia.
Meski ia tak bisa mengungkapkan kekagumannya, belum tentu hal itu menjadi sesuatu yang buruk baginya. Justru, akan membawa kebaikan bagi dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengagumi Karena Iman & Taqwa √
Novela JuvenilSebelum membaca Alangkah baiknya untuk vote dan follow dulu ya... :) Jangan lupa jejak komentarnya HAPPY READING!! ________________________________ Blurb Kagum. Sebuah kekaguman yang luar biasa, sehingga kagum itu menjadi cinta. Kisah fiksi seo...