07

319 73 20
                                    

 

Waktu terus berjalan. Ketiga sahabat tersebut terus mengisi waktunya dengan kebersamaan. Mereka kembali ke rumah Aisyah ketika mendekati waktu salat Magrib. Dan sekarang, jarum jam menunjuk pukul 20.10, terasa begitu cepat waktu berlalu.

"Astagfirullah, udah jam delapan!" Zahra terkejut dan panik setelah melihat jam dinding di atasnya.

"Eh, iya. Tak terasa waktu cepat berlalu," ucap Aisyah dengan raut wajah lesu.

"Kalau begitu, aku pamit pulang. Takut dicari sama ibu," ucap Zahra seraya berdiri.

"Kalau begitu, aku juga." Nesa mengikuti Zahra yang berdiri, "Ayolah, jangan sedih begitu. Ini bukan pertemuan terakhir kita. Tunjukkan tawamu seperti tadi di taman."

"Yah, baiklah. Lagipula, tak baik kalau perempuan pulang terlalu larut, apalagi untuk Muslimah seperti kalian. Hati-hati di jalan, ya, kalian berdua." Aisyah memaksakan senyum di wajahnya, dia masih tak rela kalau kedua temannya itu pulang.

Setelahnya, Aisyah mengantar kepergian Zahra dan Nesa hingga depan rumah. Meski ada rasa tak rela, tapi ia sudah merasa cukup senang karena kedua temannya benar-benar bisa menghabiskan waktu bersama dirinya. Waktu yang sangat berharga bagi Aisyah.

Zahra dan Nesa berjalan berdua, melewati deretan rumah dengan lampu yang menyala terang. Sesekali, ada orang yang menyapa mereka. Namun, Zahra tak terlalu menanggapi sapaan-sapaan tersebut. Ia justru tenggelam dalam pikiran dan perasaannya. Lebih tepatnya, ia memikirkan akhlak dan perilaku Islam. Zahra benar-benar kagum akan kemuliaan akhlaknya. Di saat bersamaan, rasa kagum itu terus tumbuh dalam hatinya. Kemudian, bayang-banyang senyum yang ia lihat di taman, kembali muncul dalam pikirannya. Sedetik kemudian, degup jantungnya menjadi tak karuan. Zahra hanya bisa menunduk dan pasrah dengan gelapnya malam untuk menutupi wajahnya yang sudah memerah.

"Zahra, makasih banyak karena sudah mengajakku ke tempat Aisyah. Aku seneng banget," ucap Nesa. Dan Zahra pun tersadar dari pikiran-pikirannya.

"Sama-sama, Nesa. Nanti, kalau aku mau ke tempat Aisyah lagi, akan kuajak kamu," jawab Zahra dengan susah payahnya untuk tetap terlihat tenang dan biasa saja, padahal debaran di dalam dadanya masih tak menentu. 'Astaghfirullah, mikirin apa, sih, aku.'

Tak lama setelahnya, mereka pun sampai di depan gerbang perumahan. Mereka berencana untuk naik kendaraan umum agar bisa bersama dalam perjalanan. Saat mereka menunggu kendaraan umum, sebuah mobil putih mendekati mereka dari dalam perumahan. Mobil tersebut berhenti tepat di samping mereka. Kemudian, kaca mobil terbuka.

Dalam mobil nampak seorang ibu dan disebelahnya, di kursi kemudi, adalah seorang laki-laki yang Zahra kenal, Islam. Sepertinya, ibu itu adalah ibunya.

"Assalmu'alaikum, nunggu siapa, Nak?" tanya Ibu Islam, Ia menyuguhkan senyum ramah.

"Wa'alaikumussalam, kami menunggu kendaraan umum, Bu," jelas Nesa.

"Emang mau kemana?" tanya Ibu Islam lagi.

"Kami ingin pulang. Rumah kami ke arah sana, sekitar 2 KM dari sini," jawab Zahra.

"Kalau begitu, ikut saja bersama Ibu. Ibu juga mau ke sana," ajak Ibu Islam.

"Tidak perlu, Bu, kami tidak mau merepotkan. Biar kami menunggu kendaraan umum saja," tolak Zahra sambil tersenyum masam. Ia merasa tak enak karena menolak tawaran baik seseorang.

"Malam-malam begini, loh, ga baik kalau anak perempuan naik kendaraan umum," bujuk Ibu Islam lagi.

"Ikutlah. Aku dan ibuku juga pergi ke arah sana. Tenang saja, kami bukan orang jahat," lanjut Islam tanpa melihat ke arah Zahra dan Nesa. Zahra dibuat terkejut karena Islam tiba-tiba berbicara.

Setelahnya, Ibu Islam turun dari mobil dan membukakan pintu belakang mobil. Ia tetap mempertahankan senyumnya seraya berkata, "Silakan masuk, Nak."

Tak bisa menolak lagi, Zahra dan Nesa melangkahkan kakinya ke dalam mobil. Sesaat kemudian, mobil mulai melaju di jalanan.

"Namanya Siapa?" tanya Ibu Islam.

"Aku Nesa dan ini Zahra," jawab Nesa sambil memegang pundak Zahra.

Sejak masuk ke mobil, Zahra hanya diam. Pikiran-pikiran tentang Islam dan rasa kagum padanya kembali lagi. Bahkan, Zahra tak menyapa Islam saat memasuki mobil. Pun dengan Islam, ia menyalakan Murottal Al-Qur'an.

"Rumah Kalian di mana?" tanya Ibu Islam.

"Aku di Graha Citra, Bu," jawab Nesa. Zahra hanya diam karena tenggelam dalam pikirannya lagi, hingga ia tidak mendengar pertanyaan dari Ibu Islam. Nesa menepuk pundak Zahra, "Zahra!"

"I–iya, Ada Apa?" tanya Zahra yang kebingungan. Kemudian, Nesa mendekatkan bibirnya ke telingan Zahra.

"Ibu itu tanya di mana rumahmu," bisik Nesa.

"Owh, rumahku di Griya Mas, Bu," jawab Zahra dengan sikap sebaik mungkin.

"Pas, Ibu juga mau ke sana," ucap Ibu Islam sambil menepukkan tangannya.

Islam dan ibunya ingin ke rumah kakeknya, yang ternyata tak jauh dari rumah Zahra. Zahra pun mengenal kakeknya, Kakek Sulaiman. Islam ingin berpamitan dengan kakeknya karena hendak pergi ke Cairo.

Mobil terus melaju, hingga 2 KM pun telah ditempuh. Nesa sudah turun sejak beberapa saat lalu. Dia juga sudah mengucap terima kasih kepada Islam dan ibunya, tapi Islam hanya diam dan tak menoleh. Sekarang, hanya Zahra yang masih di dalam mobil bersama Islam dan ibunya.

Sejak tadi, Zahra selalu diam bila tak diajak bicara. Dia hanya menunduk karena kembali tenggelam dalam pikiran-pikirannya. Tak ada percakapan setelah Nesa turun. Tak lama kemudian, rumah Zahra pun terlihat.

"Rumah saya di depan, Bu," kata Zahra dengan lirih. Dia sudah tersadar dari lamunannya ketika melewati polisi tidur.

"Oh, benarkah? Yang mana?" tanya Ibu Islam untuk memastikan.

"Kiri jalan. Rumah berwarna hijau." Zahra sedikit menunjuk rumahnya, meski Ibu Islam tak melihat ke tempat duduk Zahra di belakang.

Seperti tahu maksud Zahra, Islam menghentikan mobilnya tepat di depan rumah berwarna hijau. Zahra pun kembali tersipu karena ucapannya didengar oleh Islam.

"Oh, yang ini. Silakan turun, Nak." Ibu Islam mengangguk dengan senyum, seolah merasa puas saat melihat rumah Zahra,

"Benar, Bu. Kalau begitu, saya pamit. Terima kasih, Bu. Assalamu'laikum." Zahra membuka pintu mobil kemudian turun. Dia masih menundukkan pandangannya. Bahkan, ia tak berterima kasih kepada Islam karena hatinya tak sanggup untuk mengucapkan kalimat kepada Islam.

"Baik, Nak. Wa'alaikumussalam. Lain kali, jangan pulang terlalu malam, ya," nasehat Ibu Islam melalui jedela mobilnya.

"Insya Allah, Bu." Zahra menunjukkan senyum manisnya kepada Ibu Islam. Melihat hal tersebut, Ibu Islam membalas dengan senyuman.

Sedetik kemudian, mobil kembali melaju. Zahra melambaikan tangannya untuk mengantar kepergian mobil tersebut.

Meski belum begitu mengenal Islam, bahkan belum pernah saling berbicara, tapi rasa kagum itu ada. Rasa kagum yang terus meningkat di kala ia memikirkan sosok laki-laki cuek tersebut. Rasa kagum yang hanya dia dan Sang Pencipta yang tahu. Rasa kagum yang tak terucap dengan kata, tapi selalu tersebut dalam hati.

****

Mengagumi Karena Iman & Taqwa √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang