Final Batle

1.6K 112 18
                                    

Menjalani sisa kehidupannya dengan tenang bersama kenangan-kenangan kecilnya adalah satu hal sederhana yang ingin Elisha jalani. Tapi sepertinya itu akan jadi hal tersulit untuk saat ini.

Saat Elisha terbangun, ia sudah tidak berada di kamar Aldric maupun kamarnya sendiri. Dan sialnya lagi ia dibius, ini dikarenakan Elisha sama sekali tidak dapat mengingat bagaimana ia bisa sampai ditempat gelap ini ditambah kepalanya terasa seperti berputar.

Elisha mencoba bangkit, mengabaikan rasa pusing di kepalanya yang tidak kunjung mereda. Gelap, pengap dan terlihat tua adalah gambaran yang dapat Elisha tangkap dari ruangan ini.

Meski hanya ditemani cahaya temaram dari lampu yang alakadarnya, ia bisa merasakan ada sesuatu yang terasa familiar dengan tempat ini. Tapi Elisha belum bisa mengingatnya ditambah kepalanya yang masih terasa berdenyut.

Hanya ada dua orang di benak Elisha saat ini, yang berani menculiknya. Yang pertama Aldric atau seorang Dimas. Ia tak habis pikir, apakah Elisha harus pergi meninggalkan orang-orang bermasalah ini untuk mengejar kehidupannya yang bebas?

Baru beberapa langkah ia keluar dari kamar pengap tadi, sebuah suara mengagetkannya.

"Kau sudah bangun? Kemarilah."

Elisha mengenali suara itu, suara Dimas menggema di lorong gelap ini. Meski bodoh kalau mendekati sumber suaranya. Tapi, ia tidak punya pilihan lain.

Lorong lembab ini, Elisha yakin pernah kesini sebelumnya. Ia membuka sebuah pintu kayu yang sudah reot dihadapannya. Tatapan dingin Dimas langsung menyambutnya diujung ruangan yang ternyata cukup luas ini.

Dimas bertelanjang dada, memperlihatkan perban yang melilit punggungnya yang kokoh. Elisha mengusap lengannya yang meremang.  Tempat ini mengingatkan nya akan masa lalu.

"Kau tidak ingat?" tanya Dimas.

Elisha menggeleng kecil, kepalanya masih sedikit berputar. "Kenapa kau membawaku kesini Dim? Aku lelah."

"Kita ada diruang bawah tanah panti asuhan lamamu,"

Tubuh Elisha langsung menegang ditempat. Pantas saja ia merasa mengenali tempat ini. Sudah banyak yang berubah, tidak ada lagi alat-alat latihannya dulu. Ruangan ini jadi terlihat luas karena tidak ada perabotan samasekali.

"Dan ya aku ingin menyelesaikan semuanya." sambung Dimas.

Pria itu mendekati Elisha, menarik tangan mungil itu untuk mendekat kearahnya. Elisha tidak sanggup memberontak, badannya masih terasa lemas.

"Untuk kali ini, kalau aku yang menang ... Elishaku yang manis harus kembali bersamaku lagi."

Dimas memborgol salah satu tangan Elisha dan mengaitkan borgol yang satunya dengan dinding yang sudah ada besi melingkar yang tertancap didalamnya.

"Aku bukan barang Dim, berhentilah melakukanya." lelah Elisha.

"Apa kau tidak merindukanku? Saat-saat menyenangkan kita dulu, kau tidak merindukannya?"

Elisha terdiam kikuk, seberapa rindu pun ia tidak bisa kembali pada Dimas. Bayang-bayang masa lalu Dimas yang membunuh Ibu asuhnya membuat Elisha jadi gila. Ia sangat menyayangi wanita itu terlepas segala peraturan tidak masuk akal yang dibuatnya.

Sebelum bertemu dengan Dimas ibu Asih adalah tempatnya pulang, tempatnya memiliki satu-satunya keluarga. Setelah Dimas datang, laki-laki itu justru menghancurkan tempatnya pulang. Elisha tidak bisa.

Dimas dan Elisha secara bersamaan melihat ke arah pintu, dimana suara derap langkah kaki terdengar menggema di lorong. Pintu kayu yang sudah lapuk itu ditendang dari luar, membuatnya langsung roboh.

He's a Psychopath ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang