BAB 2. BERANDAL

364 65 5
                                    

Taeyong yang melaju di garda terdepan menghentikan motornya membuat yang lain melakukan hal yang sama. Banyak yang memasang gestur bertanya-tanya, tentu saja, karena ini memang baru setengah perjalanan menuju markas mereka.

"Sepertinya aku akan absen di pesta malam ini," tandas Taeyong setelah membuka helm-nya dan meletakannya di atas tanki.

"Hyung, kau tak mau ikut pesta bersama kami? Kemenangan Doyoung hyung, kau tak mau merayakannya? Oh tidak, Lihat, senyum cerahnya bahkan belum pudar setelah kemenangan dua jam yang lalu. Kau akan membuatnya kecewa."

"Benar yang dikatakan Haechan, hyung, Doyoung  pasti akan sedih jika kau tidak ikut." Mark ikut menimpali.

"Aku minta maaf untuk itu, tapi aku rasa ada sesuatu yang harus aku selesaikan malam ini, dan aku tak bisa menundanya." Taeyong tersenyum, mencoba tak terpengaruh dengan ucapan dan nada bicara Haechan yang selalu sukses membuat orang emosi.

"Doy, tak masalah, kan?"

"Baiklah, kau akan menyelesaikan sesuatu, aku mengerti itu," jawab Doyoung sedih, tapi Taeyong tahu cowok itu hanya berpura-pura, ia bisa melihat semringah di wajah pura-puranya.

"Hati-hati, Hyung!" teriak Jaehyun sebagai salam perpisahan.

Taeyong hanya mengacungkan jempol singkat sebelum kembali fokus ke jalanan di depannya.

Sejujurnya tak ada apa-apa yang mesti ia selesaikan, hanya saja ada sesuatu yang memang lebih penting baginya ketimbang menikmati satu dua sloki Vodka sekarang. Ini antara hidup dan mati orang yang ia sayangi.

Taeyong membelokan arah motor ke rumah sakit di mana ibunya dirawat. Barusan ia mendapat telepon dari pihak rumah sakit yang memintanya untuk ambil keputusan operasi demi keselamatan ibunya.

Taeyong mengambilnya tanpa pikir panjang, dan menurut perkiraannya, operasi sudah berjalan setengah jam yang lalu.

Taeyong menarik napas dalam, menghembuskannya, berusaha tegar, cowok itu bergegas meninggalkan area parkiran menuju rumah sakit. Kondisi di dalam lumayan sepi, iya, tentu saja karena sekarang sudah tengah malam.

Taeyong berdiri di depan ruang operasi eommanya, menatap lurus, tungkainya serasa lunglai, kehabisan tenaga melihat kondisi di dalam ruangan di mana beberapa staff rumah sakit tengah berjuang untuk eommanya.

Memejamkan mata, Taeyong merasa hatinya sangat teriris, bibirnya pun bergetar hebat menahan isakan menyedihkan miliknya.

Bagaimana mungkin ia masih bisa bersenang-senang di luar sementara eommanya berada di sini, melawan penyakit yang dideritanya hampir setahun ke belakang. Taeyong merasa sudah menjadi anak yang tidak berguna.

"Aggrrhhh!" erangnya frustasi.

Taeyong mendudukan dirinya di ubin rumah sakit, menyenderkan tubuhnya di dinding yang masih dingin sekalipun tubuhnya dilapisi jaket tebal.

Ponsel di saku jaketnya berdering, spontan Taeyong mengusap sudut matanya dan meraih benda pipih itu. Ternyata panggilan dari ayahnya.

"Tae, ayah sudah mengirimkan biaya operasi eomma ke pihak rumah sakit. Kamu tenanglah di situ, ayah juga mentransfermu beberapa untuk keperluan eomma selama di sana."

Taeyong menggenggam ponselnya tanpa minat. Ia menyesal sudah mengangkat telepon tadi, ayahnya bahkan tak menanyai keadaan eommanya, padahal Taeyong sangat mengharapkan ayahnya menanyakan itu, setidaknya ada secuil dari dalam diri Taeyong percaya jika ayahnya memang menyayangi eomma.

Ayahnya selalu berpikir materi bisa menyelesaikan segalanya, padahal cinta dan kasih sayang jauh melebihi itu. Iya, hanya itu yang ia dan eommanya butuhkan sekarang.

Fan Fict : DANGEROUS IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang