You Don't Know III

384 42 0
                                    

"Astaghfirullahal'adzim, istighfar mas!" Teriak Hanna melihat suaminya sedang menginjak tubuh Arkan yang sudah terkulai lemas,

Ia segera memeriksa keadaan Arkan, Arkan hanya terdiam pandangannya kosong, ia tak bersuara sedikit pun seolah luka-luka nya tidak terasa sakit lagi. Suaminya pergi begitu saja seolah ia tak merasa menyesal setelah menganiaya putranya sendiri. Sambil menangis Hanna memapah Arkan ke kamarnya dan membersihkan darah dari sekujur tubuhnya, baju seragam putih itu usang dan penuh bercak darah. Hanna memeluk Arkan, seketika teringat pada masa ketika Arkan masih kecil.

Ia teringat Arkan kecil yang baru saja di pukuli suaminya dengan gagang sapu, ia tak menangis bahkan bocah itu tersenyum, sembari berkata, "Arkan baik-baik saja, Bunda." "Jika papa merasa senang setelah melakukan ini Arkan tidak keberatan," lanjutnya. Segera ia mendekap anak laki-laki itu dengan erat, ia bukan putra kandung nya tapi ia merasakan sakit luar biasa ketika melihatnya, air matanya mengalir, ia tidak tahu harus melakukan apa beberapa kali Arkan mencegahnya menghubungi pihak kepolisian dengan berkata, "Jangan bunda, papa tidak pernah menyakiti bunda, kan? Arkan tidak apa-apa."

Tanpa sadar Hanna memeluk putra sambung nya itu, tiba-tiba tubuh Arkan sesak nafas, segera Hanna menelepon ambulance karena khawatir akan keadaan Arkan. Bagi papanya Arkan hanyalah seseorang yang pantas di hancurkan, ia tidak pernah menerima kehadiran buah hatinya itu. Hidup bagaikan sampah yang tidak pernah di inginkan orangtuanya sudah mendarah daging sejak Arkan masih kecil. Rasa sakit sudah setia menemaninya setiap saat, ia sudah terbiasa di hina, di siksa, dan di perlakukan tidak baik oleh papanya. Ya, hal itu sudah menjadi makanannya setiap hari. Bahkan terbesit di dalam hatinya bahwa jika ia harus mati, pun ia ingin mati di tangan papanya.

~~~

Di rumah sakit Dokter meminta agar Arkan di opname karena keadaannya sudah sangat buruk, Hanna terpaksa berbohong dan mengatakan putranya terluka karena berkelahi dengan temannya. Ia tak menceritakan pada suaminya bahwa Arkan sedang di rawat di rumah sakit, ia takut hal yang lebih buruk akan terjadi. "Bunda? Kenapa Arkan ada di sini?" Tanya Arkan lirih. "Tenang nak, istirahatlah. Jangan khawatir papa kamu tidak tahu kamu di sini," ucap Hanna. "Arkan tidak apa-apa bunda," tuturnya. "Iya kamu tidak kenapa-napa tapi hati bunda yang kenapa-napa," ucap Hanna, sambil meneteskan air matanya. "Arkan gak papa bunda, Arkan gak sakit kok," ucap Arkan sambil tersenyum,

Tiba-tiba Arkan merasakan nyeri yang teramat sangat di dadanya, tubuhnya seakan menjadi tidak berdaya, jantung nya berdebar-debar, nafasnya sesak, pusing, ia merasa seperti akan pingsan. Segera Hanna memanggil dokter, dokter pun datang dan memeriksa keadaan Arkan.

Kembali Hanna bertanya keadaan putranya pada dokter, dokter menjelaskan bahwa Arkan mengalami gangguan panik. Saat mendengar tentang salah satu faktor pemicu gangguan panik adalah Kejadian traumatis yang pernah dialami, Hanna langsung melemas, dia sudah dapat menebak pasti akan mengenai kesehatan mental putranya itu. "Arkan kenapa bunda?" Ucap Zakhwan yang baru sampai. "Kali ini rahasiakan hal ini dari ayah, ya? Bunda mau pulang, ayah kamu pasti kebingungan sekarang. tolong kamu jaga adik kamu," ucap Hanna. "Baik bunda."

Hanna pun segera pulang, terlihat bahwa suaminya sudah meneleponnya berulang kali. Ia bersandar di bangku taxi, air matanya tak terbendung lagi. Kali ini ia benar-benar tidak sanggup jika harus membiarkan Arkan tersakiti lagi.

Bayang-bayang masa lalu nya menghampiri lagi, ia teringat saat pertama kali Arkan tinggal bersama mereka setelah ibu mertuanya meninggal, saat itu Arkan kecil sedang memasak di dapur. Hanna terkejut mendapati bocah itu memasak, saat ia melarangnya kata-kata yang terlontar dari mulut kecilnya membuat Hanna terpaku. "Gak papa bunda, Arkan lapar jadi Arkan mau masak kata papa kalau tidak masak sendiri Arkan tidak perlu makan."

Setelah itu Hanna teringat ketika Arkan memamerkan penghargaan olimpiade nya pada ayahnya sewaktu SMP, tanpa pikir panjang suaminya itu membanting piala milik Arkan dan merobek sertifikatnya lalu memukulnya hingga tulang bahu Arkan patah. Air mata Hanna tak bisa tertahan lagi, Arkan selalu saja tetap tersenyum meskipun ia merasakan sakit.

"Sudah sampai, Bu," ujar supir taksi. Hanna tersadar dari lamunannya, ia menghapus air matanya lalu turun dari mobil. Di sana suaminya menunggu. "Dari mana kamu?" Tanya Rama, papa Arkan. "Jenguk teman di rumah sakit," jawab Hanna berbohong. Rama hanya mengangguk, lalu ia duduk di sofa dan menyalakan televisi. Rama sebenarnya adalah sosok suami dan ayah yang baik, ia sangat menyayangi keluarga kecilnya bahkan ia menyayangi Zakhwan seperti anaknya sendiri hanya saja perlakuannya kepada anak kandungnya berbeda, mungkin faktor masa lalunya yang menjadi penyebabnya.

Sementara itu Zakhwan masih menunggu Arkan di rumah sakit, ia mengelus kepala adiknya yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. "Maafin mas, harusnya yang di sayang papa itu kamu," gumam Zakhwan. Zakhwan melihat tubuh adiknya yang penuh luka lebam dari ujung rambut hingga ujung kaki, memperhatikan wajah adiknya yang babak belur karena ulah ayahnya sendiri, "Kenapa kamu harus ngelarang kami lapor polisi? Ini sudah keterlaluan! Karena ayah baik? Memang ayah sangat baik Tapi kenapa ayah baik ke kami tapi tidak ke kamu?" Gumam Zakhwan.

Zakhwan terus mengungkapkan perasaan kecewa, sedih, dan marah hingga ia tertidur di bangku sembari kepalanya bertopang di pinggir tempat tidur Arkan. Setelah memastikan Zakhwan tertidur, Arkan membuka matanya, tubuhnya benar benar lemas dan kesulitan untuk bergerak, ia menatap kakak sambungnya yang sedang tertidur itu, "Gue tidak apa-apa, jangan khawatir." ucap Arkan pelan menahan pilu dari tubuhnya yang masih meninggalkan nyeri diakhiri senyuman tipis sejatinya ia menanti kematiannya.

You Don't Know What It's Like ✅(COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang