Ternyata produktif nulis buat saat-saat ini emang susah. 🙂
Jadi, aku harap kalian memaklumi, ya, kalau seandainya aku update ngga dua hari sekali, karena kadang ada aja hal-hal tak terduga di setiap harinya.
Selamat membaca!
------
Baru tiga suap Nara makan, namun perutnya sudah bergejolak. Kalau kata Kirana, itu adalah sebuah hal yang wajar karena masih terhitung trisemester pertama. Bian yang melihat itu pun panik, bahkan dia ikut kelimpungan. Sedangkan Nara, dia santai dan sudah lebih tenang.
Nara masih berada di depan wastafel kamar mandi ruang rawatnya, mencoba memuntahkan apapun yang ingin dikeluarkan, namun tidak ada yang keluar. Bian hanya memijat tengkuk dan sesekali mengusap punggung istrinya itu.
"Udah?" tanya Bian saat melihat Nara yang sudah mendongak. Mualnya sudah selesai. Nara pun membilas mulutnya dengan air.
Bian pun memapah Nara untuk kembali berbaring di brangkar. Sebelumnya, Nara meminum satu gelas air putih yang diberikan oleh Bian.
"Jangan bikin saya takut," ucap Bian. Wajahnya panik dan bingung seperti seorang Ayah yang baru pertama kali akan memiliki anak, padahal, kan, tidak.
Nara justru menyeringai dan tertawa kecil. "Kan, aku udah bilang, aku ngga bisa makan sepagi ini. Kamu, sih, ngga percaya," kata Nara sambil berjalan menuju tempat tidurnya lagi.
Dia berbaring dan sesekali menghela napas. Anaknya ini benar-benar tidak doyan nasi di pagi hari.
"Saya bukan ngga percaya, tapi kamu memang harus makan," jawab Bian.
Nara hanya mengangguk mengerti. Namun, sekeras apapun dia memaksa makanan untuk masuk ke dalam perutnya, tetap tidak bisa. Yang ada hanya mual dan nek yang berkepanjangan.
Nara melihat jam dinding, setengah tujuh pagi. "Kamu ngga ke kantor, Mas?" tanya Nara.
Bian menggeleng. "Gimana saya mau ke kantor, kamu aja keadaannya kaya gini," jawab Bian sambil membuka ponselnya hendak menghubungi Darel. Setelah mengetikan beberapa kalimat pada layar ponselnya, Bian memasukan ponsel tersebut ke saku celananya kembali.
"Padahal ngga papa kamu ke kantor aja, lagian aku udah ngga papa," jawab Nara.
Bian mengerutkan keningnya. "Nanti dikira saya ninggalin kamu lagi," jawab Bian santai.
Nara hanya menyeringai. Terhitung semenjak Nara membuka matanya hingga detik ini, semua perlakuan Bian sungguh teramat manis. Apa ini yang dikatakan sebuah penebusan dosa?
Padahal, tidak perlu menjadikannya ratu, Nara sudah memaafkan. Bukan tentang seberapa cepat luluh, tapi, tentang untuk apa menyimpan rasa sakit hati kepada orang lain? Dia orang yang Nara cinta, untuk apa menaruh benci terlalu lama?
"Ya, udah, kamu mau makan apa? Perut kamu harus isi, saya ngga mau tahu," kata Bian dengan nada menuntut. Bian berkata demikian juga demi anak dan istrinya.
Nara terlihat berpikir. Dia memilah-milih makanan atau minuman yang sekiranya tidak membuatnya mual lagi. Selanjutnya Nara menoleh ke arah kiri, terdapat sebuah keranjang buah lengkap yang belum terbuka. Sepertinya milik Hanna yang dibeli semalam. "Mau apel, Mas," kata Nara yang masih berbaring itu.
Bian hanya mengangguk, setelahnya dia beranjak dari tempat duduknya dan memutari tempat tidur untuk menuju nakas. "Kulitnya mau dikupas ngga?" tanya Bian yang sudah mengambil dua apel bewarna merah itu.
Nara hanya menggeleng. "Dipotong kecil-kecil aja," ujar Nara.
Tanpa kata Bian bergegas menuju wastafel untuk mencuci apel yang sudah dipegang itu. Sekembalinya, Bian sudah membawa pisau kecil dan piring, berikut juga garpu kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...