𝟧

339 63 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



















Apakah Jeongin salah? Apakah yang dilakukannya benar-benar fatal? Tidak, ia hanya bertanya. Namun apa yang membuatnya merasa tidak nyaman? Ada sedikit rasa bersalah tertanam sejak tadi pagi.

























"Udah berapa kali gua bilang."

Berhenti sejenak dan kaget atas ucapan yang keluar dari mulut Hyunjin.






































"Kalo jalan sampingan aja."




























Mengerti instruksinya. Melangkah tertunduk menuju posisi seharusnya.







"Kenapa murung? Dibully?" tanya Hyunjin seakan tak mau tau jawaban dari Jeongin. Menggeleng.

"Ya terus kenapa?" tanyanya lagi dengan nada dingin namun perhatian. Menggeleng kepalanya lagi. Langkah mereka berdua terhenti di depan toko roti yang biasa mereka lewati sepulang sekolah. Bukan untuk membeli roti, namun berhenti sekedar untuk menanyakan perihal tadi.

"Gua gamau jalan kalo lo ga ngomong." ancam Hyunjin seperti mengancam anak kecil bandel.

"Gua tanya sekali lagi mau ngga mau Lo harus jawab."






















"Lo kenapa?" dengan nada mengintimidasi.
























"Kak Hyunjin ga marah?" tanya Jeongin pelan. Yang ditanya hanya bingung dan mengernyitkan dahi.






"Tadi pagi.."

"Jeongin ngga tau kalo ayahnya Kak Hyunjin udah ngga ada. Terus Jeongin nanya tanpa cari tau dulu....Kak Hyunjin marah?" tanyanya sekali lagi namun kali ini sambil menunduk.

Hyunjin hanya tersenyum. Berpikir bahwa masih ada populasi manusia seperti ini? Kali ini yang bodoh siapa? Hyunjin atau Jeongin?

"Lo kira gua marah jadi lo takut sama gua? Gitu?"  tanya Hyunjin sambil menahan tawanya. Dibalas dengan anggukan.

"Nggak. Gua ga marah. Ada-ada aja lo, Je." balas Hyunjin.

Sebenarnya semenjak kedatangan Jeongin ke keluarganya setelah 1 minggu, Hyunjin mulai menerima Jeongin sebagai adik dan temannya. Akhir-akhir ini bunda lebih ceria setelah Jeongin menginjakkan kaki di rumah. Ia akhirnya tau bagaimana rasanya jadi kakak. Aura kedewasaan lebih terasa jika memiliki seorang adik. Tanggungjawab dilatih meski terkadang ada rasa iri di sela-sela hati kecilnya. Hyunjin tak mau membuat bundanya khawatir dan merasa bersalah jika hal itu terjadi. Dengan kehadiran Jeongin, ia harap kedepannya akan melanjutkan memori lampau keluarganya dengan sang ayah.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





























































19°C.























Anak laki-laki dengan ruangan putih. Atau mungkin ruangan putih dengan anak laki? Jeongin hanya duduk dan menatap sejumlah buku di atas meja belajar. Sudah tertumpuk penuh jam pasir tersebut sejak dua jam lalu. Namun kali ini ia tak membaca lembaran-lembaran monoton tersebut. Hanya menatapnya kosong. Bingung harus mulai darimana. Ini adalah kesempatan emas untuk memulai bakatnya. Tak ada yang melarang. Tak ada yang mengatur. Tak ada yang mengekang. Bebas. Hanya Jeongin dan secarik kertas usangnya. Lamunannya buyar seketika.

 Lamunannya buyar seketika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.












Ia hanya mengikuti instruksi yang ada. Segera turun meski tak tahu apa yang menjadi tujuan.






Yap, es krim vanilla dalam cup. Entah apa maksudnya. Mungkin camilan dari bunda selagi mereka menjaga rumah.

 Mungkin camilan dari bunda selagi mereka menjaga rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝟫𝟣𝟣 • 𝙃𝙮𝙪𝙣𝙟𝙚𝙤𝙣𝙜Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang