𝟤

624 73 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





















Mari kita bahas latar belakang keluarga ini.


































Terlahir sebagai anak tunggal memanglah bukan hanya sekedar anugerah. Di sisi lain juga ada plus minus nya. Menampung beban, bekerja keras, dituntut menjadi nomor satu. Semboyan "kenapa 90 kalo bisa 100?" sudah biasa terucap. Mungkin sejak ia masih 6 tahun. Bagi sebagian orang, hidup bukan hanya untuk bercanda. Mereka memiliki visi dan misi yang harus dituntaskan. Namun harus tetap sesuai kodrat dan batasan. Know your limit.

Bermula dari nilai ulangan harian matematika seorang anak SD berumur 9 tahun. Entah apa yang membuatnya menjadi sedikit ceroboh, ia tak berniat seperti itu. Pulang sekolah dengan lemas. Seperti tak ada harapan hidup baginya. Karena tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sama seperti bulan lalu, berdiri menghadap tembok berjam-jam. Tidak ada camilan kue cokelat malam ini. Hanya dibentak dan membahas satu persatu soalan yang di jawab salah.

Jeongin dituntut untuk menjadi orang sukses, melanjutkan generasi keluarganya. Sudah bawaan gen jika ia cerdas dan tegas. Namun siapa sangka? Jeongin terlahir dalam dunia seni, bukan akademik. Sangat disayangkan jika bakatnya terbuang begitu saja. Saat itu, saat ia berusia 3 tahun. Sudah tersedia buku, alat tulis dan papan bertulis alphabet A-Z. Tugasnya hanya menyalin bentuk-bentuk yang tersedia ke dalam buku kosong. Untuk anak usia 3 tahun, ini tidak masuk akal.

Diluar ekspektasi kedua orang tua, satu buku kosong itu pun berubah menjadi bentuk-bentuk geometri dua dimensi dan coretan artistik yang dibuat oleh bocah ingusan 3 tahun. Jeongin istimewa. Jeongin berbakat. Tapi bukan rezekinya terlahir di dalam keluarga dengan sistem akademik tinggi. Dari generasi pertama, dari kakek-nenek buyut hingga generasinya sekarang, masih berdiri tegas motto hidup keluarga ini, "Belajar jika ingin hidup." Terbayang sudah tekanan yang Jeongin rasakan selama ini. Soal logaritma, trigonometri, matriks, mutasi gen, konfigurasi unsur dan sesuatu yang berbau sains, sudah menjadi makanan sehari-hari.

Rasanya ingin kabur dari rumah!





































"Mama papa pergi dulu ya, kamu disini jangan nakal. Belajar yang rajin. Jaga diri, anak manis." ucap wanita itu sambil mengusap kepala anaknya. Dibalas dengan anggukan tanda ia mengerti.



















"Jangan lupa tugas di kerjakan! Tadi papa lihat di e-mail kamu deadline sampai lusa esok. Papa pamit ya." ucapan terakhir dari seorang yang selama ini tegas dalam mendidik anaknya.






















Sudah berkumpul 2 pihak keluarga di Bandara Gimhae. Saling mengucapkan salam perpisahan dan doa. Keluarga kecil itu telah menerima salah satu anggota baru. Jeongin hanya berharap bahwa kehidupannya akan lebih baik dari sebelumnya. Seharusnya ia bisa membuka lembaran baru yang lebih segar. Tak ada lagi wajah apatis, mati rasa dan tanpa ekspresi. Kini di Busan, bukan lagi Amsterdam.



















𝟫𝟣𝟣 • 𝙃𝙮𝙪𝙣𝙟𝙚𝙤𝙣𝙜Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang