𝟤𝟨

180 32 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






























Atmosfer baru, dipijakkan kakinya di tanah Negara "Kincir Angin". Lengkara jika apapun yang dilakukan sekarang adalah keinginannya. Jiwanya masih tertinggal di Busan. Merasa seperti masih bercengkrama dengan bocah itu dan sahabat-sahabatnya. Berlalu pagi ke pagi, malam ke malam. Hertogenbosch, menjadi saksi perjalanan Hyunjin selama sebulan. Bagi kalian yang menjadi anak rantau, mungkin sama juga rasanya. Tinggal sendiri demi pendidikan, di negeri orang.


Tidak mudah baginya menjalani hari. Mungkin benar kata Jeongin, "Mau stress biar kurus? Coba ke Belanda deh." Bukan masalah negaranya, namun pola hidup banyak tuntutan. Kini Hyunjin merasa salut dengan Jeongin yang dapat melewati masa-masa monokrom di masa lampau.

H-7 menjelang kompetisi, Hyunjin menekan dirinya seharian nonstop berada di depan meja belajar dengan tumpukan buku astronomi. Ia masih merasa belum menguasai misteri alam luar sana, masih banyak yang harus dipecahkan. Kesehatan menjadi yang nomor dua sekarang. Betul-betul dari pagi ketemu pagi.











"Jin, kalo gak kuat gausah dipaksa!" terdengar ocehan Eunwoo bawel jauh disana.

"Sebenarnya bukan kemauan gua kayak gini, emang jadwalnya aja yang kayak kerja rodi."

"Oalah, yaudah semangat, bro!"

"Mau satu kecamatan nyemangatin gua, kalo gua capek ya capek!"

"Ya terus lo maunya gimana, monyettt!"



Hyunjin mematikan ponselnya dan segera beranjak menuju P3K. Entah apa yang diambil, Hyunjin langsung menenggak lebih dari satu keping obat tablet beda jenis. Akhir-akhir ini memang dirinya sering keluar malam hanya untuk konsultasi atas pikirannya yang menggangu. Terkadang juga emosinya tidak terkontrol di bawah kesadarannya.

Hyunjin kembali bersandar pada bangkunya dan berkutik dengan soal-soal astronomi. Semua hening sebelum seseorang membuka pintu dari luar.









"Hyunjin? Jam segini masih belajar? Nggak tidur lo?" tanya Beomgyu, teman sekamarnya.

Hyunjin hanya diam dengan raut wajah pucat. Ia menahan sakit kepala yang sedari tadi menghantui dan berlalu lalang tak mau pergi. Pikirnya 7 macam obat akan membuatnya makin berstamina. Iya, pikiran Hyunjin memang bikin geleng kepala. Tapi bagaimana keadaannya sekarang?







"Jin? Lo nggak kenapa-kenapa kan?" tanya Beomgyu agak khawatir sambil melambai-lambaikan tangannya di depan Hyunjin.






Beomgyu telah menjadi teman sekamarnya sejak 3 minggu lalu, ia juga sudah mulai terbiasa melihat Hyunjin tidur pagi hanya karena mengerjakan soal. Tentang riwayat kesehatan, Beomgyu juga mengetahui bahwa Hyunjin sering keluar malam untuk konsultasi. Kotak P3K kini hanya berisi obat-obat anti-depresan, jadi Beomgyu hanya bisa berasumsi bahwa Hyunjin memang tidak baik-baik saja. Yang membuatnya khawatir sekarang, terdapat 7 bungkus jenis obat-obatan yang berbeda sudah tergeletak kosong di atas nakas. Siapa lagi kalau bukan Hyunjin? Dan sekarang, Hyunjin kembali menenggak secangkir kopi. Bukankah tidak seharusnya ia lakukan?








"Hyunjin? Ini punya siapa?" tanya Beomgyu pura-pura tidak tahu.

"Gua." jawabnya singkat.


"Jin?! Lo kenapa? Cerita sama gua!"




Hyunjin tak sanggup membalas pertanyaan simpel Beomgyu. Bibirnya terbungkam lemah, rasanya roh ini akan segera meninggalkan jasmani. Hyunjin tersungkur kebawah dengan keadaan berantakan. Beomgyu terkejut bukan main.























































Tawa seorang anak kecil terdengar jelas mengelilingi seantero alam. Tubuh itu kini berdiri di depan satu keluarga kecil bahagia. Seorang anak berumur 7 tahun yang sedang bermain-main riang bersama kedua orangtuanya. Tampak sederhana namun susah didapat. Dadanya mulai sedikit nyeri sebelum sepersekon kemudian ia sadar bahwa ini bukan tempat biasa. Dan...










Sosok anak kecil barusan adalah dirinya. Hyujin tujuh tahun yang tertawa lepas sambil menggandeng kedua tangan orang tuanya. Ayah dan Bunda.


Hyunjin hanya bisa menyudutkan senyum di ujung bibir dan berusaha untuk menyimpan bulir-bulir air dibalik kelopak mata. Tubuhnya tak mampu berjalan, ia masih tidak tahu dirinya ada dimana.














"Bunda! Lihat kakak itu! Kasihan ya.."

Hyunjin kecil menghampiri Hyunjin yang sedang mematung tidak paham apa yang terjadi.





"Kak? Kenapa kok sedih? Kata bunda tidak boleh makan cokelat ya?" tanyanya polos.



"Kak, kehidupan dewasa itu menyenangkan kan?"







Satu pertanyaan yang tidak mampu dijawab. Satu pertanyaan yang mampu membuat bulir-bulir air dibalik kelopak matanya sekarang membanjiri pipi. Hyunjin berlutut menangis sesegukan.




Hyunjin kecil memeluk Hyunjin tanpa alasan. Perempuan paruh baya dan suaminya pun ikut memeluknya. Seakan-akan ini menjadi pesan tersirat bagi Hyunjin. Hyunjin semakin memeluk erat ketiganya. Ia merasa puas walau hanya sebatas pelukan hangat yang tidak mungkin ia dapatkan di realita.

 Ia merasa puas walau hanya sebatas pelukan hangat yang tidak mungkin ia dapatkan di realita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝟫𝟣𝟣 • 𝙃𝙮𝙪𝙣𝙟𝙚𝙤𝙣𝙜Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang